Powered by Blogger.

Demonstrasi Kontekstual Modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Dalam Demonstrasi Kontekstual Modul 3.2, saya menganalisis visi dan prakarsa perubahan, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan B - A - G - J - A, peran pemimpin pembelajaran dan modal utama apa saja yang dimanfaatkan contoh video praktik baik dalam video dengan bantuan beberapa pertanyaan. Berikut merupakan hasil analisis yang saya lakukan.

1. Kira-kira apakah visi dari sekolah tempat guru dalam video tersebut mengabdi?

Visi dari sekolah tempat guru tersebut adalah “Mewujudkan Generasi Mandiri, Kritis, Kreatif, dan Berakhlak Mulia"

Hal ini bisa dilihat dari tindakan guru untuk merangsang kecerdasan berdiskusi dan berpikir kritis dan kreatif dalam diskusi kelompok, dan kecerdasan dalam mempresentasikan gagasan di depan kelas.

2. Apakah prakarsa perubahan yang akan dilakukan oleh guru dalam tayangan video?

Seperti yang disampaikan di video, prakarsa perubahan yang dilakukan oleh guru dalam video adalah “Mewujudkan Kelas yang Nyaman dan Menyenangkan untuk Belajar”

Hal ini juga bisa dilihat dari pertanyaan pemantik guru tentang penyemangat belajar untuk murid, lalu mengarahkan murid untuk menyampaikan tentang kelas impian mereka, hingga akhirnya guru menggali pendapat murid dan murid mendesain kelas impian mereka sendiri.

3. Apakah Pertanyaan Utama dari kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam tayangan video tersebut?

Pertanyaan utamanya adalah “Bagaimana cara mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar?” 

Pertanyaan tersebut diberikan dengan disertai kegiatan mengajak murid mengkhayalkan kelas impian mereka sambil memvisualisasikannya dalam sebuah gambar yang dilakukan melalui diskusi kelompok.

4. Kegiatan/tindakan apa yang dilakukan oleh guru dalam tayangan video yang menggambarkan tahapan:

B: Guru sudah berdiskusi dengan salah seorang rekan sejawatnya untuk merumuskan pertanyaan utama dari Prakarsa perubahan yang akan dilakukan. Pertanyaan yang dibuat guru kira - kira adalah "Apa yang dapat saya dan murid lakukan untuk mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan?" Guru menulis "Penyemangat Belajar" di papan tulis yang mengundang rasa ingin tahu murid, lalu mengajukan pertanyaan terkait tulisan tersebut yaitu "Apa yang muncul dalam pikiran kalian saat membaca tulisan di papan tulis?". Guru menanyakan pendapat dan pengalaman murid tentang hal-hal yang menjadi penyemangat belajar mereka. Guru menanyakan pada murid apa yang mereka sukai dari kelas mereka, sambil menggali kesadaran murid tentang kelas yang mereka miliki bersama.

A:Guru menanyakan pendapat dan pengalaman murid tentang hal-hal yang menjadi penyemangat belajar mereka untuk menggali informasi tentang murid. Guru menanyakan pada murid apa yang mereka sukai dari kelas mereka, sambil menggali kesadaran murid tentang kelas yang mereka miliki bersama (mengenali potensi dan asset). Guru mengajak murid untuk melihat kelas lain dan memperhatikan hal yang disukai sebagai inspirasi untuk mengembangkan kelas yang meningkatkan semangat belajar. Guru mengajak murid-murid untuk mendiskusikan hal-hal yang mereka catat dari kelas lain sebagai hal yang mereka sukai.

G:Guru memfasilitasi kegiatan menggali mimpi dengan memberikan alat dan bahan untuk diskusi. Guru meminta murid untuk menutup mata dan membayangkan kelas impian yang nyaman dan menyenangkan sebagai penyemangat mereka dalam belajar. Guru mengajak setiap kelompok murid untuk memvisualisasikan kelas impian mereka dalam bentuk gambar. Guru mengajak masing-masing kelompok murid untuk mempresentasikan konsep dan visualisasi kelas impian mereka di depan kelas, dan guru mencatat hal-hal penting dari presentasi para murid.

J:Guru mengajak murid membuat daftar tindakan yang dilakukan dan kebutuhan yang diperlukan untuk mewujudkan kelas impian. Guru memastikan setiap murid diajak untuk berkontribusi menentukan kebutuhan tersebut. Guru membantu menuliskan di papan tulis daftar unsur-unsur dari kelas impian murid. Guru memfasilitasi pembagian tugas dan tanggung jawab para murid dalam mewujudkan kelas impian yang menyenangkan. 

A:Guru memberi kesempatan setiap murid dalam berkontribusi dalam mewujudkan kelas impian. Guru memberikan kesempatan masing-masing kelompok murid untuk menentukan tugasnya. Guru mengajak murid bersama-sama mendiskusikan dan menyepakati rencana waktu pelaksanaan menata kelas impian. Guru mengajak murid menyiapkan alat dan bahan sesuai dengan tugas masing-masing. Guru memberikan semangat atau motivasi serta menuntun murid dalam bergotong royong mewujudkan kelas impian sebagai penyemangat belajar.

5. Apa peran pemimpin yang tergambar dalam tayangan video?

Peran pemimpin yang tergambar dalam video adalah guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, di mana guru mengarahkan dan menuntun murid untuk menjadikan kelas sebagai sebuah kelas impian yang dapat meningkatkan semangat belajar. Guru menuntun para murid untuk menggali kesadaran mereka tentang aset yang mereka telah miliki dan potensi yang mereka punya dalam mewujudkan impian tersebut. Guru juga berperan sebagai pemimpin dalam musyawarah dan penentuan kesepakatan. Guru juga memupuk rasa tanggung jawab mereka terhadap tugas, memupuk rasa memiliki melalui kesempatan untuk berkontribusi, serta kepemimpinan murid melalui kesempatan bermusyawarah dan mempresentasikan pendapat.

6. Apa saja modal utama yang dimanfaatkan oleh pemimpin pembelajaran dalan tayangan video? Lalu bagaimana pemanfataannya?

a. MODAL MANUSIA:

Guru yang mampu memetakan dan memaksimalkan sumber daya yang ada untuk menciptakan kelas yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar.

Rekan kerja yang bisa diajak bekerjasama dalam menyusun prakarsa perubahan.

Murid yang aktif, kooperatif, percaya diri, kreatif, mandiri, mampu berkolaborasi dan mengomunikasikan hasil karya dalam kelompok, serta bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan guru.

Murid dan guru kelas lain yang bersedia kelasnya dikunjungi untuk dijadikan bahan inspirasi.

b. MODAL FISIK:

  • Kelas yang dapat diubah dekorasinya agar menjadi ruang belajar yang nyaman dan menyenangkan sesuai dengan impian murid.
  • Dekorasi dinding yang bisa menutupi bagian-bagian dinding yang rusak.
  • Rak buku beserta isinya untuk mendukung proses belajar.
  • Papan tulis.
  • Meja dan kursi yang bisa dipindahkan agar murid lebih nyaman saat belajar.

c. MODAL BUDAYA:

Budaya bergotong royong murid yang dimanfaatkan dalam tindakan nyata murid untuk mewujudkan kelas impian bersama-sama. Karakter murid yang baik, mau berbicara jika ditunjuk dan memperhatikan saat guru berbicara, sopan dan hormat kepada guru (seperti bersalaman sebelum masuk kelas), mau berpartisipasi dalam kegiatan dan tidak acuh dalam kegiatan, berani tampil mempresentasikan kegiatan, semua modal budaya positif seperti inilah yang memungkinkan seluruh kegiatan terlaksana.

MODAL FINANSIAL:

Pendanaannya tidak disebutkan dengan jelas dari video, tetapi kemungkinannya adalah:

Uang kas kelas yang dikumpulkan oleh murid yang dipakai untuk membeli alat dan bahan guna mewujudkan kelas impian.

Uang pribadi dari Bu Guru untuk mempersiapkan alat dan bahan dalam diskusi dan membuat dekorasi.

Dana BOS yang digunakan membeli printer, tinta printer, dan kertas yang digunakan untuk mencetak dekorasi kelas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI – NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Salam dan Bahagia!

Dalam koneksi antar materi pada modul ini, saya akan merangkum materi modul 3.1 dengan menjawab beberapa pertanyaan pemantik yang berkaitan dengan pengambilan keputusan berbasis nilai - nilai kebajikan sebagai pemimpin pembelajaran.

1. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?

Pratap triloka yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara terdiri dari Ing Ngarso Sung Tulodho (Seorang pemimpin harus mampu memberi tauladan), Ing Madya Mangunkarsa (Seorang pemimpin harus mampu memberikan dorongan, semangat dan motivasi dari tengah), dan Tut Wuri Handayani (Seorang pemimpin harus mampu memberi dorongan dari belakang). Dalam mengambil keputusan, kita sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan peran kita saat ini. Sehingga pemimpin tidak hanya memprioritaskan kepentingan pribadi saja, tetapi juga pertumbuhan dan perkembangan bawahan maupun rekaan sejawat. 

2. Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Untuk mengambil suatu keputusan, kita umumnya berpatokan pada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan pada nilai - nilai yang kita yakini atau sudah tertanam dalam diri kita. Sehingga, pilihan yang kita gunakan sebagai keputusan akhir tentu tercermin dari nilai - nilai kebajikan ini yang mencakup standar moral maupun etika yang kita junjung. Sebagai contoh, jika kita berpegang teguh pada nilai empati makan keputusan - keputusan yang kita ambil tentu dibuat dengan mempertimbangkan rasa empati, kepedulian, maupun kasihan terhadap pihak tertentu.

3. Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambilApakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebutHal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi ‘coaching’ yang telah dibahas pada sebelumnya?

Dalam proses coaching, sebagai coach kita akan berusaha untuk menuntun coachee untuk menemukan sendiri solusi atas permasalahan yang dia hadapi. Proses pengambilan keputusan ini sangat erat kaitannya dengan coaching, dimana dengan pengetahuan mengenai paradigma, prinsip, dan 9 langkah pengujian keputusan, baik coach maupun coachee dapat menjalankan proses coaching dengan lebih lancar. Hal ini terjadi karena ketika dihadapkan pada dilema etika maupun bujukan moral, keduanya dapat dengan mudah menentukan arah diskusi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pengetahuan ini juga membantu coach untuk memastikan bahwa solusi dan komitmen yang dibuat sebagai keputusan yang bertanggung jawab memang akan berdampak positif terhadap pihak - pihak yang terlibat.

4. Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

Dalam pengambilan keputusan, terutama terkait dilema etika, seseorang yang sedang menghadapi sebuah kasus harus dapat berpikir dan menganalisis jalan keluarnya dengan pikiran yang tenang dan fokus. Hal ini erat kaitannya dengan aspek sosial emosional, baik dari segi kesadaran diri, manajemen diri, keterampilan berelasi, kesadaran sosial, maupun pembuatan keputusan yang bertanggung jawab. Dengan adanya kompetensi sosial emosional ini, niscaya keputusan yang dibuat adalah merupakan keputusan yang tidak merugikan banyak orang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Dalam menentukan atau membuat keputusan yang bertanggung jawab, seseorang harus melalui beberapa proses terlebih dahulu, baik itu dengan melihat paradigmanya, prinsip pengambilan, maupun 9 langkah pengujian, nilai - nilai yang dianut oleh pembuat keputusan akan mempengaruhi keputusan yang akan dibuat.

6. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan keputusan yang tepat merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Ketika individu, baik dalam peran kepemimpinan atau sebagai bagian dari kelompok/masyarakat, secara konsisten membuat pilihan yang dipertimbangkan dengan baik, keputusan dan efek yang mengikutinya akan berdampak positif bagi sebagian besar (kalau tidak semua) pihak yang terlibat. Dalam lingkungan pendidikan, misalnya, ketika kepala sekolah, pendidik, administrator, dan pembuat kebijakan membuat keputusan yang bijaksana, pastilah berpihak pada murid. Hal ini akan menghasilkan ruang kelas dan sekolah di mana siswa merasa aman, dihormati, dan termotivasi untuk belajar. Dalam konteks yang lebih luas, prinsip ini meluas ke berbagai organisasi dan bahkan komunitas, di mana pengambilan keputusan yang tepat akan mendorong terbentuknya budaya positif,  inklusivitas, keadilan, dan pertumbuhan kolektif. 

7. Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Tantangan - tantangan di lingkunngan saya untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika misalnya adanya penolakan dari pihak - pihak tertentu yang sudut pandangnya bisa jadi juga benar, kurangnya komitmen dalam merealisasikan hasil keputusan.

8. Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Keputusan yang baik adalah keputusan yang berpihak pada murid. Untuk mencapai keberpihakan ini, hendaknya siswa diberikan kemerdekaan dalam pembelajaran, namun tetap dalam pengawasan pihak - pihak terkait. Dengan adanya pertimbangan ini, pendidik akan memperhatikan dengan detail keadaan siswa secara khusus, bukan umum saja. 

Untuk memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda, pendidik perlu lebih aktif dalam mengenali siswa serta memahami latar belakang maupun semua atribut yang menempel padanya. Selain itu, akan terbentuk otonomi, rasa percaya diri, dan rasa memiliki hak pilihan di kalangan siswa yang dapat membantunya mengambil keputusan di masa yang akan datang.

9. Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Kemampuan seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat berdampak besar pada kehidupan dan masa depan siswanya. Keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin pendidikan, baik yang berkaitan dengan desain kurikulum, metodologi pengajaran, atau lingkungan sekolah secara keseluruhan, mempunyai konsekuensi yang luas. Pilihan-pilihan ini dapat menentukan kualitas pendidikan yang diterima siswa, berdampak pada pertumbuhan akademis, pengembangan keterampilan, dan keingintahuan intelektual mereka. Selain itu, keputusan kepemimpinan yang efektif dapat menciptakan budaya sekolah yang suportif dan inklusif, menumbuhkan rasa memiliki dan kesejahteraan emosional di kalangan siswa. Selain akademisi, pemimpin pendidikan mempunyai kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai, etika, dan pola pikir berkembang pada siswanya, sehingga memengaruhi pengembangan karakter dan pedoman moral mereka. Selain itu, keputusan terkait alokasi sumber daya, pengembangan staf, dan keterlibatan masyarakat dapat meningkatkan pengalaman pendidikan secara keseluruhan, memastikan bahwa siswa siap menghadapi tantangan dan peluang yang ada di depan dalam hidup mereka. Intinya, keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin pembelajaran dapat meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada lintasan dan potensi setiap siswa, sehingga membentuk masa depan pribadi dan profesional mereka

10. Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Dari pembelajaran modul ini dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan erat kaitannya dengan modul-modul sebelumnya yaitu filosofi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, nilai, peran, dan visi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak kepada murid, pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial emosional, serta coaching. Dalam menjalankan hal - hal tersebut seorang guru sering dihadapkan pada situasi yang mewajibkannya untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab. Hal - hal di atas juga yang kemudian ikut mendasari pengambilan keputusan tersebut. Ini menunjukkan bahwa setiap aspek pengajaran dan kepemimpinan saling melengkapi. Dengan menggabungkan wawasan dari modul sebelumnya mengenai pedagogi, keterlibatan siswa, dan kepemimpinan pendidik, kita dapat menciptakan pengalaman pembelajaran yang inklusif dan memberdayakan yang memaksimalkan potensi setiap siswa. Dengan kata lain, untuk mewujudkan pendidikan yang efektif, aspek - aspek dalam setiap modul perlu diintegrasikan.

11. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Konsep yang saya pahami dalam modul 3.1, yaitu:

a. Perbedaan antara etika dan etiket dimana etika merupakan keseluruhan asas maupun nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk sedangkan etiket bermakna sopan santun.

b. Perbedaan antara dilema etika dan bujukan moral. Dalam situasi dilema etika, kedua pilihan yang dihadapi adalah benar, dengan dua nilai kebajikan yang berbeda. Sedangkan, dalam situasi Bujukan Moral, seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah. Umumnya, hal yang salah merupakan hal yang sudah lumrah dilakukan sebelumnya.

c. Secara umum dilema etika dapat dikategorikan sebagai Individu lawan kelompok (individual vs community), Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).

d. Terdapat 3 prinsip dilema etik, yaitu:

End-based Thinking (Utilitarianism): Ini adalah pendekatan etika yang berfokus pada hasil akhir atau konsekuensi dari tindakan. Prinsip ini berarti kita harus mempertimbangkan tindakan mana yang akan menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah orang terbanyak. Dalam situasi dilema etika, pertanyaannya adalah, "Tindakan mana yang akan memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang?"

Rule-based Thinking (Deontologis): Pendekatan ini lebih berfokus pada ketaatan terhadap aturan atau prinsip moral tertentu. Dalam prinsip ini, yang penting adalah melakukan apa yang dianggap sebagai tugas atau kewajiban kita, tanpa memandang akibatnya. Dalam dilema etika, pertanyaannya adalah, "Apakah tindakan ini sesuai dengan aturan moral atau kewajiban yang berlaku?"

Care-based Thinking: Ini menekankan pentingnya perhatian dan empati terhadap orang lain. Ini berarti mempertimbangkan hubungan dan perasaan dalam pengambilan keputusan etis. Dalam prinsip ini, kita cenderung merenungkan bagaimana tindakan kita akan memengaruhi kepentingan orang lain. Dalam dilema etika, pertanyaannya adalah, "Bagaimana tindakan ini akan memengaruhi orang lain?"

e. Untuk memandu kita dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan, ada 9 langkah yang dapat dilakukan, yaitu:

1) Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan. Penting bagi kita untuk bertanya mengapa langkah ini penting untuk dilakukan. Pertama, kita harus mengidentifikasi masalah yang sedang kita hadapi, kemudian memastikan bahwa masalah yang kita hadapi memang betulbetul berhubungan dengan aspek moral, bukan sekedar masalah yang berhubungan dengan sopan santun dan norma sosial.

2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini. Bila kita telah mengenali bahwa ada masalah moral di situasi yang sedang kita hadapi, pertanyaannya adalah dilema siapakah ini? Jika permasalahan ini sudah menyangkut aspek moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil.

3) Mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini. Data tersebut mencakup dapat apa yang terjadi di awal situasi tersebut, bagaimana hal itu terkuak, apa yang akhirnya terjadi, siapa berkata apa pada siapa, kapan mereka mengatakannya, dll. Hal ini penting untuk menemukan faktor-faktor pendorong dan penarik yang menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu, mencerminkan kepribadian seseorang dalam situasi tersebut, dan memungkinkan kita menganalisis hal-hal potensial yang bisa terjadi di waktu mendatang.

4) Melakukan Pengujian benar atau salah

a) Uji Legal

Jika jawaban untuk pertanyaan "Apakah ada aspek pelanggaran hukum dalam situasi itu?" adalah iya, maka situasi yang ada bukanlah antara benar lawan benar (dilema etika), namun antara benar lawan salah (bujukan moral). Keputusan yang harus diambil dalam situasi adalah pilihan antara mematuhi hukum atau tidak, dan keputusan ini bukan keputusan yang berhubungan dengan moral.

b) Uji Regulasi/Standar Profesional

Bila situasi yang dihadapi adalah dilema etika, dan tidak ada aspek pelanggaran

hukum di dalamnya, pertanyaannya adalah: Apakah ada pelanggaran peraturan atau kode etik di dalamnya? Seseorang tidak bisa dihukum karena melanggar kode etik profesi, tapi kita dapat kehilangan respek sehubungan dengan profesi kita.

c) Uji Intuisi

Langkah ini mengandalkan tingkatan perasaan dan intuisi kita dalam merasakan apakah ada yang salah dengan situasi ini, apakah tindakan ini mengandung hal-hal yang akan membuat kita merasa dicurigai. Uji intuisi ini mempertanyakan apakah tindakan ini sejalan atau berlawanan dengan nilai-nilai yang kita yakini. Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yang tidak bertanya tentang konsekuensi tapi bertanya tentang prinsip-prinsip yang mendalam.

d) Uji Publikasi

Pertanyaan lainnya adalah "Apa yang akan kita rasakan bila keputusan ini dipublikasikan di media cetak maupun elektronik dan menjadi viral di media sosial?" Bila kitamerasa tidak nyaman kemungkinan besar kita sedang menghadapi benar situasi benar lawan salah atau bujukan moral, bukan dilema etika. Uji publikasi berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir.

e) Uji Panutan/Idola

Dalam uji ini, kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang merupakan panutan kita, misalnya ibu. Keputusan apa yang kira-kira akan beliau ambil, jika berada di posisi kita karena beliau adalah orang yang menyayangi kita dan sangat berarti bagi kita. Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking).


Bila situasi dilema etika yang dihadapi, gagal di salah satu uji keputusan tersebut atau bahkan lebih dari satu, maka sebaiknya kita tidak mengambil resiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan diri sendiri karena situasi tersebut merupakan bujukan moral.

5) Melakukan pengujian Paradigma Benar lawan Benar. Pikirkan paradigma mana yang dihadapi dari 4 paradigma dilema etika.

6) Melakukan Prinsip Resolusi. Pikirkan dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai.

7) Menginvestigasi Opsi Trilema. Dalam mengambil keputusan, seringkali ada 2 pilihan yang bisa kita pilih. Terkadang kita perlu mencari opsi di luar dari 2 pilihan yang sudah ada. Kita bisa bertanya pada diri kita, apakah ada cara untuk berkompromi dalam situasi ini. Terkadang akan muncul sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah kebingungan menyelesaikan masalah. Itulah yang dinamakan investigasi opsi trilema.

8) Membuat Keputusan

9) Melihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Salah satu wawasan yang tidak terduga adalah realisasi betapa konsep-konsep ini saling terkait dengan tanggung jawab pendidik dan sangat penting untuk menguasainya guna menunjang pelaksanakan tugas pokok dan fungsi guru dalam kehidupan sehari - hari.

12. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum mempelajari modul ini, saya memang pernah menghadapi dilema etika, namun saya baru menggunakan beberapa konsep yang saya pelajari dalam modul ini (walaupun sebelumnya tidak mengetahuinya secara langsung), misalnya mempertimbangkan apakah keputusan yang saya ambil melanggar hukum/peraturan atau tidak (uji legal/regulasi), dan apakah keputusan ini berdampak positif hanya bagi individu maupun kelompok. 

13. Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Dengan memahami konsep ini, saya menjadi semakin percaya diri dalam menganalisis situasi (bukan hanya yang berkaitan dengan profesionalisme tetapi juga pribadi/personal) dan menentukan solusi dari pilihan - pilihan yang tersedia terutama jika persoalan - persoalan tersebut merupakan dilema etika.

14. Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?

Topik pada modul ini sangat membantu saya dalam melatih kematangan saya dalam praktik pengambilan keputusan yang mengandung bujukan moral dan dilema etika baik sebagai individu maupun seorang pemimpin.


Sekian rangkuman yang dapat saya sampaikan. Terima kasih. 


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.

Calon Guru Penggerak Angkatan 11

Kabupaten Tabanan

Provinsi Bali

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Salam dan Bahagia!

Kali ini saya akan menyampaikan koneksi antar materi untuk modul 2.3 yaitu mengenai Coaching untuk Supervisi Akademik. Dari mempelajari modul 2.3, saya dapat menyimpulkan sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan makna antara coaching, mentoring, konseling, training, dan fasilitasi. Mentoring bertujuan membagi pengetahuan dan keterampilan dari orang yang berpengalaman ke yang kurang berpengalaman. Coaching bertujuan menuntun coachee menemukan ide atau solusi permasalahan dimana hubungan coach dan coachee bersifat setara. Konseling bertujuan untuk memecahkan masalah emosi dan psikologis, hubungan yang terjalin adalah antara konselor dan orang yang membutuhkan bantuan. Training bertujuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan trainee, dan diberikan oleh seorang ahli. Dan fasilitasi bertujuan membantu kelompok mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dilakukan oleh fasilitator yang bukan merupakan bagian dari kelompok yang difasilitasi.

2. Kompetensi Inti Coaching terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. 

Kehadiran penuh merupakan kemampuan untuk hadir secara utuh bagi coachee sehingga badan, pikiran, dan hati selaras saat melakukan proses coaching. Hal ini berhubungan erat dengan kesadaran diri dan perlu dilatih agar bisa fokus untuk bersikap terbuka, sabar, dan ingin tahu lebih banyak mengetahui tentang coachee. Salah satu cara untuk melatihnya adalah dengan teknik STOP.

Seorang coach yang baik akan lebih banyak mendengarkan dalam proses coaching sehingga kemampuan menyimak sangat penting. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dihindari agar dapat mendengar dengan aktif, yaitu Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Ketika mendengarkan, kita tidak boleh memiliki anggapan (asumsi) tertentu yang belum tentu benar, sehingga lebih baik mengkonfirmasinya langsung kepada coachee ketika ada hal atau situasi tertentu yang membuat coach ragu. Memberikan penilaian / label kepada coachee juga dapat menghambat proses coaching karena sejatinya penilaian kita terhadap suatu situasi tidak lebih penting daripada penilaian coachee itu sendiri. Kita juga hendaknya tidak terbawa suasana dengan mengaitkan (asosiasi) hal - hal dalam coaching dengan pengalaman pribadi kita karena dengan demikian kita cenderung akan memberikan nasehat, alih - alih pertanyaan untuk mengarahkan coachee menemukan solusinya sendiri. Ketika ketiga hal ini terjadi, kita harus menyadarinya dan kembali fokus mendengarkan coachee. Dalam mendengarkan, penting bagi coach untuk menangkap kata - kata kunci yang disebutkan coachee misalnya yang diucapkan dengan intonasi tertentu, disebutkan berulang, diwakili metafora atau bahasa asing, atau disertai emosi, untuk dapat menggali informasi yang implisit.

Dalam mengajukan pertanyaan berbobot, coach harus dapat merangkup pernyataan coachee dari mendengarkan secara aktif, menggunakan kata tanya apa, bagaimana, seberapa, kapan, dan dimana dalam bentuk pertanyaan terbuka (eksploratif), menghindari kesan menghakimi dengan tidak menggunakan kata tanya mengapa, mengajukan pertanyaan satu per satu, memberikan jeda untuk coachee memproses pertanyaan dan setelah menjawab, dan membantu coachee (membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya).

Untuk mengajukan pertanyaan berbobot, coach dapat menggunakan metode RASA (Receive: menerima semua informasi dari coachee, Appreciate: menghargai coachee dengan respon yang positif, Summarize: merangkum apa yang disampaikan oleh coachee untuk mengkonfirmasi atau memastikan simpulan kita tepat, Ask: mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar, lebih mendalam, dan sesuai kiat- kiat mengajukan pertanyaan berbobot di atas).

3. Ada 4 jenis percakapan coaching yaitu percakapan untuk perencanaan, pemecahan masalah, berefleksi, dan kalibrasi (swanilai kinerja)

4. Model coaching GROW berarti Goal (coach perlu mengetahui TUJUAN yang ingin dicapai coachee melalui sesi coaching), Reality (coaching menggali hal - hal NYATA yang terjadi pada diri coachee), Options (Coach membantu coachee memilah PILIHAN - PILIHAN yang timbul dari pemikiran selama proses coaching), Will (Coachee memiliki KEINGINAN atau komitmen untuk membuat rencana aksi dan merealisasikannya).

5. Alur percakapan coaching TIRTA terdiri dari:

Tujuan: coach dan coachee menyepakati tujuan sesi coaching

Identifikasi: coach menggalli dan memetakan situasi yang sedang dibicarakan dengan menghubungkan fakta - fakta dan anggapan yang disampaikan coachee

Rencana aksi: coach menuntun kemunculan pengembangan ide atau alternatif solusi yang akan dibuat dari pihak coachee

TAnggung jawab: coachee membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya

6. Umpan balik perlu diberikan untuk membantu pengembangan diri coachee dalam bentuk pertanyaan reflektif dan menggunakan data yang valid.

7. Supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas.  Atau dengan kata lain untuk mengembangkan performa guru dan murid, mendorong pengembangan diri, dan monitoring pencapaian tujuan pembelajaran, sehingga hal ini fokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

8. Prinsip-prinsip supervisi akademik terdiri dari:

  • kemitraan
  • konstruktif
  • terencana
  • reflektif
  • objektif
  • berkesinambungan
  • komprehensif

9. Siklus supervisi klinis terdiri dari Pra-observasi, observasi, dan pasca observasi. 

Pada percakapan pra-observasi, dibangun hubungan antara guru dan supervisor sebagai mitra dalam pengembangan kompetensi diri untuk membangun kepercayaan dari guru kepada supervisor, memberi rasa tenang mengenai tujuan dari rangkaian supervisi, dan memberi rasa percaya diri dan motivasi internal karena guru ikut terlibat dalam prosesnya. Pada fase ini, sepervisor menyampaikan tujuan supervisi dan tujuan percakapan awal, guru menyampaikan RPP dan menginformasikan aspek perkembangan yang hendak diobservasi, sepervisor dan guru menyepakati sasaran observasi, waktu kunjungan kelas dan waktu percakapan pasca-observasi, serta supervisor menginformasikan bahwa ia akan mencatat kegiatan pembelajaran.

Pada proses observasi, supervisor melakukan pengamatan di kelas dan mengumpulkan informasi secara objektif mengenai aspek pengembangan yang sudah disepakati. Sedangkan, pada saat percakapan pasca observasi, terjadi proses analisis hasil data observasi sesuai dengan tujuan coaching, percakapan umpan balik, perencanaan area pengembangan, dan rencana aksi pengembangan diri. Dalam hal ini, diharapkan agar guru dapat menemukan sendiri area pengembangan selanjutnya. 

10. Tindak lanjut supervisi dapat dilakukan melalui percakapan coaching, kegiatan kelompok kerja guru, fasilitasi dan diskusi, dll. Kegiatan ini hendaknya dilaksanakan secara berkelanjutan. 

Dari proses pembelajaran modul 2.3, saya mempelajari konsep coaching dan mempraktikkan prinsipnya langsung dengan rekan CGP. Saya juga berkesempatan berlatih melakukan proses supervisi akademik terhadap rekan yang berperan sebagai coach. Setelah menjalani semua prosesnya, saya merasa sangat senang karena banyak hal yang dapat saya pelajari, misalnya bagaimana untuk melakukan coaching kita sebagai coach harus berfokus pada coachee, menuntun mereka menemukan solusi atas permasalahan sendiri dan kita harus dapat menahan diri untuk tidak "menyuapi" coachee tersebut dengan ide - ide kita. Dari praktik coaching ini saya juga belajar menempatkan diri, dimana kita sebagai coach dan supervisor harus mampu bersifat netral dan memahami kesetaraan, dimana jika coachee kita adalah seorang yang lebih senior, kita tidak seharusnya merasa takut atau insecure, dan sebaliknya, jika coachee kita adalah guru yang lebih muda, tidak sepatutnya kita menggurui. Saya juga berproses dalam melatih kemampuan mendengarkan aktif, dengan tidak menghakimi, tidak melabeli, tidak berasumsi, dan tidak mengasosiasikan kasus - kasus yang dialami coachee dengan pengalaman kita. Hal ini mengingatkan saya untuk menyadari bahwa dunia tidak berputar dan berpusat pada kita. Secara umum, saya merasa bahwa saya telah mampu menerapkan proses coaching dengan cukup baik karena saya dapat mengimplementasikannya sesuai dengan alur TIRTA. Saya ingat untuk menanyakan tujuan coaching terhadap coachee, saya mampu mengidentifikasi permasalahan yang dialami dan potensi yang dimiliki oleh coachee, saya mampu menggali rencana aksi yang ingin dilakukan oleh coachee, dan memastikan tanggung jawab atau komitmen coachee untuk menjalankan rencananya. Akan tetapi, masih ada ruang untuk saya berkembang, terutama dalam memperbaiki kemampuan saya memberikan pertanyaan berbobot agar tetap relevan dan bersifat menuntun sehingga coach dapat menuntun coachee untuk menemukan potensi - potensi yang dapat membantu coachee. Oleh karena itu saya berharap, dengan ilmu dan keterampilan yang telah saya dapatkan, saya dapat menerapkannya untuk melakukan proses coaching terhadap siswa maupun rekan sejawat yang mengalami permasalahan baik pribadi maupun profesional, sehingga saya dapat menuntun mereka untuk menemukan solusi atau pemecahannya, bukan menyuapi mereka dengan solusi seperti yang selama ini saya sering lakukan.

Dari sini kemudian timbul pertanyaan, seberapa pentingkah kemampuan coaching bagi guru? Sudah tentu, sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bertujuan untuk "menuntun" siswa untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi - tingginya. Hal ini serupa dengan konsep coaching yang berupaya menuntun coachee untuk menemukan sendiri solusi bagi permasalahannya. Keterampilan coaching tentu dapat membantu guru untuk membantu siswa mencapai kemandirian dalam memecahkan masalah dan juga membantu guru lain. Selain itu, proses coaching erat kaitannya dengan pembelajaran diferensiasi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar murid, yaitu minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru mendesain pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar murid agar potensi murid mampu dikembangkan secara optimal. Hal inilah yang selaras dengan praktik coaching dimana coach berupaya mengoptimalkan potensi coachee untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Dengan pemahaman akan kebutuhan belajar murid, saya juga sudah mendapat sedikit konsep bagaimana cara menggali kebutuhan seseorang yang dapat diterapkan ketika menggali informasi dari coachee. 

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks yang dekat dengan saya yaitu adanya kecenderungan untuk melakukan Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Dalam proses coaching, seorang coach diharapkan dapat memiliki kompetensi yang terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kehadiran penuh dapat tercapai ketika seseorang bersikap mindful dalam melakukan sesuatu. Mindfulness inilah erat kaitannya dengan apa yang sudah saya pelajari dalam modul 2.2 terkait dengan pembelajaran sosial dan emosi, khususnya terkait teknik STOP yang terdiri dari Stop (berhenti saat kejadian apapun sedang berlangsung), Take a breath (Tarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri, Observe (mengamati pikiran dan perasaan pribadi), dan Proceed (memperoses dengan sebuah tindakan akan mendukung diri, atau melanjutkan yang dilakukan sebelumnya setelah bebas dari distraksi). Dalam mendengarkan aktif, sebagai solusi untuk menghindari Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi, coach juga dapat mengembalikan fokus dengan teknik STOP tersebut. 

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas. Sebelumnya, supervisi akademik merupakan pengalaman yang cukup menegangkan karena saya takut mendapat kritikan dari observer. Akan tetapi, setelah mempelajari modul 2.3 saya mendapati bahwa hal ini seharusnya dilakukan dengan teknik coaching. Sehingga, dengan adanya coaching, performa guru dan murid dapat ditingkatkan melalui mendorong pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

Secara umum, saya dapat memahami dengan baik isi modul 2.3 setelah mempelajari konsep dan mempraktikkannya bersama rekan - rekan CGP. Untuk menambahkan pengetahuan tersebut, saya belum membaca sumber lain di luar PGP maupun mengikuti pelatihan yang berkaitan. Akan tetapi, wejangan - wejangan dan praktik baik dari rekan Guru Penggerak sangat membantu saya dalam memahami lebih dalam mengenai praktik coaching. Mereka bahkan tidak hanya memberikan teori - teorinya saja, akan tetapi memberikan contoh atas apa yang sudah dilakukan sehingga saya mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai coaching untuk dapat meningkatkan keterampilan coaching saya dengan terus berlatih.


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.

SMK Negeri 1 Tabanan

Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Tabanan




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS