Powered by Blogger.

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Salam dan Bahagia!

Kali ini saya akan menyampaikan koneksi antar materi untuk modul 2.3 yaitu mengenai Coaching untuk Supervisi Akademik. Dari mempelajari modul 2.3, saya dapat menyimpulkan sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan makna antara coaching, mentoring, konseling, training, dan fasilitasi. Mentoring bertujuan membagi pengetahuan dan keterampilan dari orang yang berpengalaman ke yang kurang berpengalaman. Coaching bertujuan menuntun coachee menemukan ide atau solusi permasalahan dimana hubungan coach dan coachee bersifat setara. Konseling bertujuan untuk memecahkan masalah emosi dan psikologis, hubungan yang terjalin adalah antara konselor dan orang yang membutuhkan bantuan. Training bertujuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan trainee, dan diberikan oleh seorang ahli. Dan fasilitasi bertujuan membantu kelompok mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dilakukan oleh fasilitator yang bukan merupakan bagian dari kelompok yang difasilitasi.

2. Kompetensi Inti Coaching terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. 

Kehadiran penuh merupakan kemampuan untuk hadir secara utuh bagi coachee sehingga badan, pikiran, dan hati selaras saat melakukan proses coaching. Hal ini berhubungan erat dengan kesadaran diri dan perlu dilatih agar bisa fokus untuk bersikap terbuka, sabar, dan ingin tahu lebih banyak mengetahui tentang coachee. Salah satu cara untuk melatihnya adalah dengan teknik STOP.

Seorang coach yang baik akan lebih banyak mendengarkan dalam proses coaching sehingga kemampuan menyimak sangat penting. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dihindari agar dapat mendengar dengan aktif, yaitu Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Ketika mendengarkan, kita tidak boleh memiliki anggapan (asumsi) tertentu yang belum tentu benar, sehingga lebih baik mengkonfirmasinya langsung kepada coachee ketika ada hal atau situasi tertentu yang membuat coach ragu. Memberikan penilaian / label kepada coachee juga dapat menghambat proses coaching karena sejatinya penilaian kita terhadap suatu situasi tidak lebih penting daripada penilaian coachee itu sendiri. Kita juga hendaknya tidak terbawa suasana dengan mengaitkan (asosiasi) hal - hal dalam coaching dengan pengalaman pribadi kita karena dengan demikian kita cenderung akan memberikan nasehat, alih - alih pertanyaan untuk mengarahkan coachee menemukan solusinya sendiri. Ketika ketiga hal ini terjadi, kita harus menyadarinya dan kembali fokus mendengarkan coachee. Dalam mendengarkan, penting bagi coach untuk menangkap kata - kata kunci yang disebutkan coachee misalnya yang diucapkan dengan intonasi tertentu, disebutkan berulang, diwakili metafora atau bahasa asing, atau disertai emosi, untuk dapat menggali informasi yang implisit.

Dalam mengajukan pertanyaan berbobot, coach harus dapat merangkup pernyataan coachee dari mendengarkan secara aktif, menggunakan kata tanya apa, bagaimana, seberapa, kapan, dan dimana dalam bentuk pertanyaan terbuka (eksploratif), menghindari kesan menghakimi dengan tidak menggunakan kata tanya mengapa, mengajukan pertanyaan satu per satu, memberikan jeda untuk coachee memproses pertanyaan dan setelah menjawab, dan membantu coachee (membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya).

Untuk mengajukan pertanyaan berbobot, coach dapat menggunakan metode RASA (Receive: menerima semua informasi dari coachee, Appreciate: menghargai coachee dengan respon yang positif, Summarize: merangkum apa yang disampaikan oleh coachee untuk mengkonfirmasi atau memastikan simpulan kita tepat, Ask: mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar, lebih mendalam, dan sesuai kiat- kiat mengajukan pertanyaan berbobot di atas).

3. Ada 4 jenis percakapan coaching yaitu percakapan untuk perencanaan, pemecahan masalah, berefleksi, dan kalibrasi (swanilai kinerja)

4. Model coaching GROW berarti Goal (coach perlu mengetahui TUJUAN yang ingin dicapai coachee melalui sesi coaching), Reality (coaching menggali hal - hal NYATA yang terjadi pada diri coachee), Options (Coach membantu coachee memilah PILIHAN - PILIHAN yang timbul dari pemikiran selama proses coaching), Will (Coachee memiliki KEINGINAN atau komitmen untuk membuat rencana aksi dan merealisasikannya).

5. Alur percakapan coaching TIRTA terdiri dari:

Tujuan: coach dan coachee menyepakati tujuan sesi coaching

Identifikasi: coach menggalli dan memetakan situasi yang sedang dibicarakan dengan menghubungkan fakta - fakta dan anggapan yang disampaikan coachee

Rencana aksi: coach menuntun kemunculan pengembangan ide atau alternatif solusi yang akan dibuat dari pihak coachee

TAnggung jawab: coachee membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya

6. Umpan balik perlu diberikan untuk membantu pengembangan diri coachee dalam bentuk pertanyaan reflektif dan menggunakan data yang valid.

7. Supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas.  Atau dengan kata lain untuk mengembangkan performa guru dan murid, mendorong pengembangan diri, dan monitoring pencapaian tujuan pembelajaran, sehingga hal ini fokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

8. Prinsip-prinsip supervisi akademik terdiri dari:

  • kemitraan
  • konstruktif
  • terencana
  • reflektif
  • objektif
  • berkesinambungan
  • komprehensif

9. Siklus supervisi klinis terdiri dari Pra-observasi, observasi, dan pasca observasi. 

Pada percakapan pra-observasi, dibangun hubungan antara guru dan supervisor sebagai mitra dalam pengembangan kompetensi diri untuk membangun kepercayaan dari guru kepada supervisor, memberi rasa tenang mengenai tujuan dari rangkaian supervisi, dan memberi rasa percaya diri dan motivasi internal karena guru ikut terlibat dalam prosesnya. Pada fase ini, sepervisor menyampaikan tujuan supervisi dan tujuan percakapan awal, guru menyampaikan RPP dan menginformasikan aspek perkembangan yang hendak diobservasi, sepervisor dan guru menyepakati sasaran observasi, waktu kunjungan kelas dan waktu percakapan pasca-observasi, serta supervisor menginformasikan bahwa ia akan mencatat kegiatan pembelajaran.

Pada proses observasi, supervisor melakukan pengamatan di kelas dan mengumpulkan informasi secara objektif mengenai aspek pengembangan yang sudah disepakati. Sedangkan, pada saat percakapan pasca observasi, terjadi proses analisis hasil data observasi sesuai dengan tujuan coaching, percakapan umpan balik, perencanaan area pengembangan, dan rencana aksi pengembangan diri. Dalam hal ini, diharapkan agar guru dapat menemukan sendiri area pengembangan selanjutnya. 

10. Tindak lanjut supervisi dapat dilakukan melalui percakapan coaching, kegiatan kelompok kerja guru, fasilitasi dan diskusi, dll. Kegiatan ini hendaknya dilaksanakan secara berkelanjutan. 

Dari proses pembelajaran modul 2.3, saya mempelajari konsep coaching dan mempraktikkan prinsipnya langsung dengan rekan CGP. Saya juga berkesempatan berlatih melakukan proses supervisi akademik terhadap rekan yang berperan sebagai coach. Setelah menjalani semua prosesnya, saya merasa sangat senang karena banyak hal yang dapat saya pelajari, misalnya bagaimana untuk melakukan coaching kita sebagai coach harus berfokus pada coachee, menuntun mereka menemukan solusi atas permasalahan sendiri dan kita harus dapat menahan diri untuk tidak "menyuapi" coachee tersebut dengan ide - ide kita. Dari praktik coaching ini saya juga belajar menempatkan diri, dimana kita sebagai coach dan supervisor harus mampu bersifat netral dan memahami kesetaraan, dimana jika coachee kita adalah seorang yang lebih senior, kita tidak seharusnya merasa takut atau insecure, dan sebaliknya, jika coachee kita adalah guru yang lebih muda, tidak sepatutnya kita menggurui. Saya juga berproses dalam melatih kemampuan mendengarkan aktif, dengan tidak menghakimi, tidak melabeli, tidak berasumsi, dan tidak mengasosiasikan kasus - kasus yang dialami coachee dengan pengalaman kita. Hal ini mengingatkan saya untuk menyadari bahwa dunia tidak berputar dan berpusat pada kita. Secara umum, saya merasa bahwa saya telah mampu menerapkan proses coaching dengan cukup baik karena saya dapat mengimplementasikannya sesuai dengan alur TIRTA. Saya ingat untuk menanyakan tujuan coaching terhadap coachee, saya mampu mengidentifikasi permasalahan yang dialami dan potensi yang dimiliki oleh coachee, saya mampu menggali rencana aksi yang ingin dilakukan oleh coachee, dan memastikan tanggung jawab atau komitmen coachee untuk menjalankan rencananya. Akan tetapi, masih ada ruang untuk saya berkembang, terutama dalam memperbaiki kemampuan saya memberikan pertanyaan berbobot agar tetap relevan dan bersifat menuntun sehingga coach dapat menuntun coachee untuk menemukan potensi - potensi yang dapat membantu coachee. Oleh karena itu saya berharap, dengan ilmu dan keterampilan yang telah saya dapatkan, saya dapat menerapkannya untuk melakukan proses coaching terhadap siswa maupun rekan sejawat yang mengalami permasalahan baik pribadi maupun profesional, sehingga saya dapat menuntun mereka untuk menemukan solusi atau pemecahannya, bukan menyuapi mereka dengan solusi seperti yang selama ini saya sering lakukan.

Dari sini kemudian timbul pertanyaan, seberapa pentingkah kemampuan coaching bagi guru? Sudah tentu, sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bertujuan untuk "menuntun" siswa untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi - tingginya. Hal ini serupa dengan konsep coaching yang berupaya menuntun coachee untuk menemukan sendiri solusi bagi permasalahannya. Keterampilan coaching tentu dapat membantu guru untuk membantu siswa mencapai kemandirian dalam memecahkan masalah dan juga membantu guru lain. Selain itu, proses coaching erat kaitannya dengan pembelajaran diferensiasi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar murid, yaitu minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru mendesain pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar murid agar potensi murid mampu dikembangkan secara optimal. Hal inilah yang selaras dengan praktik coaching dimana coach berupaya mengoptimalkan potensi coachee untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Dengan pemahaman akan kebutuhan belajar murid, saya juga sudah mendapat sedikit konsep bagaimana cara menggali kebutuhan seseorang yang dapat diterapkan ketika menggali informasi dari coachee. 

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks yang dekat dengan saya yaitu adanya kecenderungan untuk melakukan Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Dalam proses coaching, seorang coach diharapkan dapat memiliki kompetensi yang terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kehadiran penuh dapat tercapai ketika seseorang bersikap mindful dalam melakukan sesuatu. Mindfulness inilah erat kaitannya dengan apa yang sudah saya pelajari dalam modul 2.2 terkait dengan pembelajaran sosial dan emosi, khususnya terkait teknik STOP yang terdiri dari Stop (berhenti saat kejadian apapun sedang berlangsung), Take a breath (Tarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri, Observe (mengamati pikiran dan perasaan pribadi), dan Proceed (memperoses dengan sebuah tindakan akan mendukung diri, atau melanjutkan yang dilakukan sebelumnya setelah bebas dari distraksi). Dalam mendengarkan aktif, sebagai solusi untuk menghindari Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi, coach juga dapat mengembalikan fokus dengan teknik STOP tersebut. 

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas. Sebelumnya, supervisi akademik merupakan pengalaman yang cukup menegangkan karena saya takut mendapat kritikan dari observer. Akan tetapi, setelah mempelajari modul 2.3 saya mendapati bahwa hal ini seharusnya dilakukan dengan teknik coaching. Sehingga, dengan adanya coaching, performa guru dan murid dapat ditingkatkan melalui mendorong pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

Secara umum, saya dapat memahami dengan baik isi modul 2.3 setelah mempelajari konsep dan mempraktikkannya bersama rekan - rekan CGP. Untuk menambahkan pengetahuan tersebut, saya belum membaca sumber lain di luar PGP maupun mengikuti pelatihan yang berkaitan. Akan tetapi, wejangan - wejangan dan praktik baik dari rekan Guru Penggerak sangat membantu saya dalam memahami lebih dalam mengenai praktik coaching. Mereka bahkan tidak hanya memberikan teori - teorinya saja, akan tetapi memberikan contoh atas apa yang sudah dilakukan sehingga saya mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai coaching untuk dapat meningkatkan keterampilan coaching saya dengan terus berlatih.


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.

SMK Negeri 1 Tabanan

Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Tabanan




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment