Powered by Blogger.

Koneksi Antar Materi Modul 3.2 Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya

Salam dan Bahagia!
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan Koneksi Antar Materi Modul 3.2 dengan mengikuti arahan berikut:
  • Buatlah kesimpulan tentang apa yang dimaksud dengan ‘Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya’ dan bagaimana Anda bisa mengimplementasikannya di dalam kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. 
  • Jelaskan dan berikan contoh bagaimana hubungan pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas. 
  • Berikan beberapa contoh bagaimana materi ini juga berhubungan dengan modul lainnya yang Anda dapatkan sebelumnya selama mengikuti Pendidikan Guru Penggerak.
  • Ceritakan pula bagaimana hubungan antara sebelum dan sesudah Anda mengikuti modul ini, serta pemikiran apa yang sudah berubah di diri Anda setelah Anda mengikuti proses pembelajaran dalam modul ini.

1. Kesimpulan tentang ‘Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya dan Implementasinya
Seorang pemimpin pembelajaran sebaiknya mampu mengidentifikasi, menggali, menganalisis, dan memetakan potensi sumber daya utama, baik di tingkat daerah maupun sekolah serta dapat memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya tersebut sesuai peruntukannya guna meningkatkan kualitas pendidikan. 

Dalam proses pemetaan ini, pemimpin pembelajaran hendaknya menggunakan pendekatan berbasis asset (Asset Based Thinking) yang menekankan pada kekuatan dan potensi, sehingga mendorong sudut pandang positif, daripada pendekatan berbasis masalah yang cenderung fokus pada kekurangan (Deficit Based Thinking).

Dalam ekosistem sekolah, koneksi antara komponen biotik (unsur hidup) seperti murid, kepala sekolah, guru, staf, orang tua, dan masyarakat, serta komponen abiotik (unsur tidak hidup) seperti keuangan, sarana prasarana, media pembelajaran, dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya, terdapat 7 modal utama yang dapat diindentifikasi dan dikelola oleh pemimpin pembelajaran, yaitu: 
  1. modal manusia, 
  2. modal fisik, 
  3. modal sosial, 
  4. modal finansial, 
  5. modal politik, 
  6. modal lingkungan/alam, dan 
  7. modal agama dan budaya.

Implementasi di Kelas
  • Memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada dengan efektif dan efisien.
  • Memanfaatkan fasilitas di kelas serta lingkungan kelas untuk mendukung pembelajaran dan menghias ruangan agar menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
  • Mendorong murid untuk mengembangkan minat dan potensi mereka dalam mengikuti kompetisi
  • Meningkatkan kolaborasi antara guru dan murid dalam menjalankan suatu kegiatan.

Implementasi di Sekolah
  • Menggunakan sarana dan prasarana sekolah dengan efektif dan efisien, termasuk ruangan, alat - alat elektronik, dan fasilitas pendukung pembelajaran seperti LCD, komputer, fasilitas internet, dll.
  • Mengoptimalkan peran komunitas sekolah dengan visi bersama untuk mendorong kemajuan sekolah.
  • Berkolaborasi dengan orang tua dalam mendukung berbagai program sekolah.
Implementasi di Masyarakat
  1. Bekerja sama dengan Puskesmas untuk mengadakan sosialisasi mengenai kesehatan remaja dan kesehatan mental.
  2. Berkoordinasi dengan Kepolisian, misalnya untuk sosialisasi anti-narkoba, pengamanan di sekolah jika diperlukan, pelatihan baris berbaris, dll.
  3. Berpartisipasi dengan tokoh masyarakat dalam berbagai kegiatan, seperti program beasiswa LPD untuk siswa berprestasi di sekolah.
  4. Bekerja sama dengan tenaga ahli yang tinggal di sekitar sekolah seperti dalam mengadakan ekstrakurikuler yang berkaitan dengan keahliannya.

2. Hubungan pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas. 
Pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas, jika menerapkan pendekatan berbasis aset, contohnya:

a. Modal Manusia
Guru dan staf TU yang mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berorientasi pada siswa akan mampu mencetak murid dengan profil pelajar Pancasila dan berprestasi.

b. Modal Sosial
Kolaborasi dengan komunitas belajar, baik di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten atau provinsi, dapat meningkatkan kompetensi guru. Selain itu, kerjasama dengan puskesmas untuk meningkatkan mutu kesehatan di sekolah dan dengan Polsek untuk pencegahan narkoba, sosialisasi tertib lalu lintas, serta keamanan sekolah, sangat penting.

c. Modal Fisik
Sarana prasarana yang memadai sangat mendukung proses pembelajaran. Penggunaan laboratorium komputer dan akses internet yang baik memungkinkan siswa mempelajari teknologi untuk keperluan pembelajaran.

d. Modal Finansial
Dana BOS, iuran komite, dan sumber dana lainnya dapat membantu operasional sekolah dengan menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan, mendukung keberlangsungan proses pembelajaran yang lebih berkualitas.

e. Modal Politik
Kerjasama dengan instansi atau dinas terkait di pemerintahan daerah sangat penting untuk mendukung berbagai program sekolah.

f. Modal Lingkungan
Lingkungan yang asri dapat membuat siswa merasa nyaman selama proses pembelajaran dan berfungsi sebagai laboratorium alam untuk siswa.

g. Modal Agama & Budaya
Pembiasaan kegiatan keagamaan, seperti merayakan Hari Raya Saraswati, dapat meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan agama yang mereka anut.

3. Hubungan materi ini dengan modul - modul sebelumnya 

  • Hubungan dengan Modul 1.1 - Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara
Filosofi Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan menekankan pentingnya menuntun kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan tertinggi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. 
Oleh karena itu, guru sebagai pemimpin pembelajaran harus bisa mengenali dan memanfaatkan potensi setiap murid yang berbeda-beda sebagai sebuah aset untuk menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan berfokus pada murid, sesuai dengan kodrat alam dan zaman mereka. 
  • Hubungan dengan Modul 1.2 - Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak
Nilai dan peran guru penggerak, yaitu mandiri, kolaboratif, reflektif, inovatif, dan berpihak pada murid memungkinkan guru untuk membangun komunitas yang dapat memaksimalkan potensi dan aset yang ada.
  • Hubungan dengan Modul 1.3 - Visi Guru Penggerak
Inkuiri Apresiatif (IA) merupakan filosofi dan landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif untuk menemukan hal-hal positif dalam diri seseorang, organisasi, dan lingkungan sekitar. 

Dengan alur BAGJA, landasan dapat diterapkan dalam pengelolaan sumber daya di sekolah. Sebagai pemimpin pembelajaran, seorang guru harus memiliki visi guru penggerak yang berbasis pada prinsip Inkuiri Apresiatif ini. Dengan menerapkan pendekatan tersebut, guru dapat mengelola sumber daya di sekolah dengan lebih efektif, mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi yang ada.
  • Hubungan dengan Modul 1.4 - Budaya Positif
Asset-Based Community Development (ABCD) dan budaya positif saling terkait dalam membangun lingkungan yang mendukung perkembangan individu dan komunitas. 

ABCD berfokus pada identifikasi dan pemanfaatan aset atau kekuatan yang ada dalam komunitas untuk mengatasi tantangan dan mencapai tujuan bersama. Dalam konteks sekolah, pendekatan ini sejalan dengan budaya positif, yang mendukung perkembangan murid dengan mengedepankan nilai-nilai seperti disiplin positif dan kontrol restitusi.
  • Hubungan dengan Modul 2.1 - Pembelajaran untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid
Materi modul ini dengan pembelajaran berdiferensiasi saling melengkapi dalam menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan inklusif. Dalam pembelajaran yang memenuhi kebutuhan belajar murid melalui diferensiasi, penerapan prinsip aset terlihat jelas. Guru harus melakukan pemetaan awal dengan asesmen tentang kesiapan belajar, minat, dan gaya belajar murid, yang merupakan bagian dari memanfaatkan aset individu siswa. Selain itu, pemanfaatan berbagai modal lingkungan, seperti sumber daya alam dan teknologi yang tersedia, juga mencerminkan penggunaan aset untuk memaksimalkan potensi murid. 
  • Hubungan dengan Modul 2.2 - Pembelajaran Sosial dan Emosional
ABCD berfokus pada memanfaatkan kekuatan dan aset yang ada dalam komunitas untuk mencapai tujuan bersama, termasuk mengatasi tantangan sosial dan emosional. Pendekatan ini sejalan dengan PSE, yang bertujuan mengembangkan keterampilan sosial dan emosional siswa, seperti empati, komunikasi, dan pengelolaan emosi. Sekolah bisa lebih efektif dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan kekuatan komunitas serta sumber daya yang ada untuk mendukung pengembangan keterampilan sosial dan emosional siswa, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan seluruh anggota komunitas.
  • Hubungan dengan Modul 2.3 - Coaching Untuk Supervisi Akademik
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ABCD dalam materi coaching, supervisor akademik dapat membantu guru mengidentifikasi dan mengoptimalkan kekuatan mereka, serta sumber daya yang tersedia di lingkungan sekolah, untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan hasil belajar siswa. Pendekatan ini mengarah pada peningkatan kinerja akademik yang berkelanjutan dan pemberdayaan profesional yang lebih efektif.
8. Hubungan dengan Modul 3.1 - Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin

Sebagai pemimpin pembelajaran, seseorang akan sering menghadapi dua situasi penting: dilema etika dan bujukan moral dalam pengambilan keputusan. Untuk membuat keputusan yang baik, pemimpin harus mendasarkan dirinya pada empat paradigma, tiga prinsip, dan sembilan langkah pengambilan serta pengujian keputusan. Dalam pengelolaan sumber daya, pemimpin diharapkan dapat membuat keputusan yang tidak hanya efektif tetapi juga bermanfaat bagi seluruh elemen yang terlibat, memastikan bahwa keputusan yang diambil mendukung kepentingan dan kesejahteraan semua pihak.


4. Hubungan antara sebelum dan sesudah saya mengikuti modul ini, serta pemikiran yang sudah berubah di diri saya setelah mengikuti proses pembelajaran dalam modul ini.
Sebelum mempelajari Modul 3.2 tentang pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, saya sering kali terjebak dalam pola pikir yang fokus pada kekurangan, seperti minimnya sumber daya atau dana. Saya cenderung merasa pesimis dan menunggu dukungan eksternal yang mungkin tidak tersedia atau tidak sesuai dengan kebutuhan, yang sering kali menyebabkan keraguan dan ketidakpastian. Pendekatan ini membuat saya lebih berfokus pada masalah dan kurang proaktif dalam mencari solusi, sehingga proses pengelolaan sumber daya menjadi kurang efektif.
Setelah mempelajari Modul 3.2, wawasan dan pola pikir saya mengenai pengelolaan sumber daya mengalami perubahan signifikan. Modul ini mengajarkan bahwa pemimpin harus mengedepankan pola pikir berbasis kekuatan atau aset yang ada, bukan hanya fokus pada kekurangan atau masalah. Dengan menerapkan pendekatan berbasis aset, saya kini lebih optimis dan proaktif dalam memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya yang tersedia di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Pendekatan ini membantu saya untuk berpikir positif dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengembangkan potensi yang ada.

Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.
CGP Angkatan 11 Kab Tabanan

SMK Negeri 1 Tabanan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Demonstrasi Kontekstual Modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Dalam Demonstrasi Kontekstual Modul 3.2, saya menganalisis visi dan prakarsa perubahan, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan B - A - G - J - A, peran pemimpin pembelajaran dan modal utama apa saja yang dimanfaatkan contoh video praktik baik dalam video dengan bantuan beberapa pertanyaan. Berikut merupakan hasil analisis yang saya lakukan.

1. Kira-kira apakah visi dari sekolah tempat guru dalam video tersebut mengabdi?

Visi dari sekolah tempat guru tersebut adalah “Mewujudkan Generasi Mandiri, Kritis, Kreatif, dan Berakhlak Mulia"

Hal ini bisa dilihat dari tindakan guru untuk merangsang kecerdasan berdiskusi dan berpikir kritis dan kreatif dalam diskusi kelompok, dan kecerdasan dalam mempresentasikan gagasan di depan kelas.

2. Apakah prakarsa perubahan yang akan dilakukan oleh guru dalam tayangan video?

Seperti yang disampaikan di video, prakarsa perubahan yang dilakukan oleh guru dalam video adalah “Mewujudkan Kelas yang Nyaman dan Menyenangkan untuk Belajar”

Hal ini juga bisa dilihat dari pertanyaan pemantik guru tentang penyemangat belajar untuk murid, lalu mengarahkan murid untuk menyampaikan tentang kelas impian mereka, hingga akhirnya guru menggali pendapat murid dan murid mendesain kelas impian mereka sendiri.

3. Apakah Pertanyaan Utama dari kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam tayangan video tersebut?

Pertanyaan utamanya adalah “Bagaimana cara mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar?” 

Pertanyaan tersebut diberikan dengan disertai kegiatan mengajak murid mengkhayalkan kelas impian mereka sambil memvisualisasikannya dalam sebuah gambar yang dilakukan melalui diskusi kelompok.

4. Kegiatan/tindakan apa yang dilakukan oleh guru dalam tayangan video yang menggambarkan tahapan:

B: Guru sudah berdiskusi dengan salah seorang rekan sejawatnya untuk merumuskan pertanyaan utama dari Prakarsa perubahan yang akan dilakukan. Pertanyaan yang dibuat guru kira - kira adalah "Apa yang dapat saya dan murid lakukan untuk mewujudkan kelas yang nyaman dan menyenangkan?" Guru menulis "Penyemangat Belajar" di papan tulis yang mengundang rasa ingin tahu murid, lalu mengajukan pertanyaan terkait tulisan tersebut yaitu "Apa yang muncul dalam pikiran kalian saat membaca tulisan di papan tulis?". Guru menanyakan pendapat dan pengalaman murid tentang hal-hal yang menjadi penyemangat belajar mereka. Guru menanyakan pada murid apa yang mereka sukai dari kelas mereka, sambil menggali kesadaran murid tentang kelas yang mereka miliki bersama.

A:Guru menanyakan pendapat dan pengalaman murid tentang hal-hal yang menjadi penyemangat belajar mereka untuk menggali informasi tentang murid. Guru menanyakan pada murid apa yang mereka sukai dari kelas mereka, sambil menggali kesadaran murid tentang kelas yang mereka miliki bersama (mengenali potensi dan asset). Guru mengajak murid untuk melihat kelas lain dan memperhatikan hal yang disukai sebagai inspirasi untuk mengembangkan kelas yang meningkatkan semangat belajar. Guru mengajak murid-murid untuk mendiskusikan hal-hal yang mereka catat dari kelas lain sebagai hal yang mereka sukai.

G:Guru memfasilitasi kegiatan menggali mimpi dengan memberikan alat dan bahan untuk diskusi. Guru meminta murid untuk menutup mata dan membayangkan kelas impian yang nyaman dan menyenangkan sebagai penyemangat mereka dalam belajar. Guru mengajak setiap kelompok murid untuk memvisualisasikan kelas impian mereka dalam bentuk gambar. Guru mengajak masing-masing kelompok murid untuk mempresentasikan konsep dan visualisasi kelas impian mereka di depan kelas, dan guru mencatat hal-hal penting dari presentasi para murid.

J:Guru mengajak murid membuat daftar tindakan yang dilakukan dan kebutuhan yang diperlukan untuk mewujudkan kelas impian. Guru memastikan setiap murid diajak untuk berkontribusi menentukan kebutuhan tersebut. Guru membantu menuliskan di papan tulis daftar unsur-unsur dari kelas impian murid. Guru memfasilitasi pembagian tugas dan tanggung jawab para murid dalam mewujudkan kelas impian yang menyenangkan. 

A:Guru memberi kesempatan setiap murid dalam berkontribusi dalam mewujudkan kelas impian. Guru memberikan kesempatan masing-masing kelompok murid untuk menentukan tugasnya. Guru mengajak murid bersama-sama mendiskusikan dan menyepakati rencana waktu pelaksanaan menata kelas impian. Guru mengajak murid menyiapkan alat dan bahan sesuai dengan tugas masing-masing. Guru memberikan semangat atau motivasi serta menuntun murid dalam bergotong royong mewujudkan kelas impian sebagai penyemangat belajar.

5. Apa peran pemimpin yang tergambar dalam tayangan video?

Peran pemimpin yang tergambar dalam video adalah guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, di mana guru mengarahkan dan menuntun murid untuk menjadikan kelas sebagai sebuah kelas impian yang dapat meningkatkan semangat belajar. Guru menuntun para murid untuk menggali kesadaran mereka tentang aset yang mereka telah miliki dan potensi yang mereka punya dalam mewujudkan impian tersebut. Guru juga berperan sebagai pemimpin dalam musyawarah dan penentuan kesepakatan. Guru juga memupuk rasa tanggung jawab mereka terhadap tugas, memupuk rasa memiliki melalui kesempatan untuk berkontribusi, serta kepemimpinan murid melalui kesempatan bermusyawarah dan mempresentasikan pendapat.

6. Apa saja modal utama yang dimanfaatkan oleh pemimpin pembelajaran dalan tayangan video? Lalu bagaimana pemanfataannya?

a. MODAL MANUSIA:

Guru yang mampu memetakan dan memaksimalkan sumber daya yang ada untuk menciptakan kelas yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar.

Rekan kerja yang bisa diajak bekerjasama dalam menyusun prakarsa perubahan.

Murid yang aktif, kooperatif, percaya diri, kreatif, mandiri, mampu berkolaborasi dan mengomunikasikan hasil karya dalam kelompok, serta bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan guru.

Murid dan guru kelas lain yang bersedia kelasnya dikunjungi untuk dijadikan bahan inspirasi.

b. MODAL FISIK:

  • Kelas yang dapat diubah dekorasinya agar menjadi ruang belajar yang nyaman dan menyenangkan sesuai dengan impian murid.
  • Dekorasi dinding yang bisa menutupi bagian-bagian dinding yang rusak.
  • Rak buku beserta isinya untuk mendukung proses belajar.
  • Papan tulis.
  • Meja dan kursi yang bisa dipindahkan agar murid lebih nyaman saat belajar.

c. MODAL BUDAYA:

Budaya bergotong royong murid yang dimanfaatkan dalam tindakan nyata murid untuk mewujudkan kelas impian bersama-sama. Karakter murid yang baik, mau berbicara jika ditunjuk dan memperhatikan saat guru berbicara, sopan dan hormat kepada guru (seperti bersalaman sebelum masuk kelas), mau berpartisipasi dalam kegiatan dan tidak acuh dalam kegiatan, berani tampil mempresentasikan kegiatan, semua modal budaya positif seperti inilah yang memungkinkan seluruh kegiatan terlaksana.

MODAL FINANSIAL:

Pendanaannya tidak disebutkan dengan jelas dari video, tetapi kemungkinannya adalah:

Uang kas kelas yang dikumpulkan oleh murid yang dipakai untuk membeli alat dan bahan guna mewujudkan kelas impian.

Uang pribadi dari Bu Guru untuk mempersiapkan alat dan bahan dalam diskusi dan membuat dekorasi.

Dana BOS yang digunakan membeli printer, tinta printer, dan kertas yang digunakan untuk mencetak dekorasi kelas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI – NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Salam dan Bahagia!

Dalam koneksi antar materi pada modul ini, saya akan merangkum materi modul 3.1 dengan menjawab beberapa pertanyaan pemantik yang berkaitan dengan pengambilan keputusan berbasis nilai - nilai kebajikan sebagai pemimpin pembelajaran.

1. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?

Pratap triloka yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara terdiri dari Ing Ngarso Sung Tulodho (Seorang pemimpin harus mampu memberi tauladan), Ing Madya Mangunkarsa (Seorang pemimpin harus mampu memberikan dorongan, semangat dan motivasi dari tengah), dan Tut Wuri Handayani (Seorang pemimpin harus mampu memberi dorongan dari belakang). Dalam mengambil keputusan, kita sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan peran kita saat ini. Sehingga pemimpin tidak hanya memprioritaskan kepentingan pribadi saja, tetapi juga pertumbuhan dan perkembangan bawahan maupun rekaan sejawat. 

2. Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Untuk mengambil suatu keputusan, kita umumnya berpatokan pada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan pada nilai - nilai yang kita yakini atau sudah tertanam dalam diri kita. Sehingga, pilihan yang kita gunakan sebagai keputusan akhir tentu tercermin dari nilai - nilai kebajikan ini yang mencakup standar moral maupun etika yang kita junjung. Sebagai contoh, jika kita berpegang teguh pada nilai empati makan keputusan - keputusan yang kita ambil tentu dibuat dengan mempertimbangkan rasa empati, kepedulian, maupun kasihan terhadap pihak tertentu.

3. Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambilApakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebutHal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi ‘coaching’ yang telah dibahas pada sebelumnya?

Dalam proses coaching, sebagai coach kita akan berusaha untuk menuntun coachee untuk menemukan sendiri solusi atas permasalahan yang dia hadapi. Proses pengambilan keputusan ini sangat erat kaitannya dengan coaching, dimana dengan pengetahuan mengenai paradigma, prinsip, dan 9 langkah pengujian keputusan, baik coach maupun coachee dapat menjalankan proses coaching dengan lebih lancar. Hal ini terjadi karena ketika dihadapkan pada dilema etika maupun bujukan moral, keduanya dapat dengan mudah menentukan arah diskusi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pengetahuan ini juga membantu coach untuk memastikan bahwa solusi dan komitmen yang dibuat sebagai keputusan yang bertanggung jawab memang akan berdampak positif terhadap pihak - pihak yang terlibat.

4. Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

Dalam pengambilan keputusan, terutama terkait dilema etika, seseorang yang sedang menghadapi sebuah kasus harus dapat berpikir dan menganalisis jalan keluarnya dengan pikiran yang tenang dan fokus. Hal ini erat kaitannya dengan aspek sosial emosional, baik dari segi kesadaran diri, manajemen diri, keterampilan berelasi, kesadaran sosial, maupun pembuatan keputusan yang bertanggung jawab. Dengan adanya kompetensi sosial emosional ini, niscaya keputusan yang dibuat adalah merupakan keputusan yang tidak merugikan banyak orang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Dalam menentukan atau membuat keputusan yang bertanggung jawab, seseorang harus melalui beberapa proses terlebih dahulu, baik itu dengan melihat paradigmanya, prinsip pengambilan, maupun 9 langkah pengujian, nilai - nilai yang dianut oleh pembuat keputusan akan mempengaruhi keputusan yang akan dibuat.

6. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan keputusan yang tepat merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Ketika individu, baik dalam peran kepemimpinan atau sebagai bagian dari kelompok/masyarakat, secara konsisten membuat pilihan yang dipertimbangkan dengan baik, keputusan dan efek yang mengikutinya akan berdampak positif bagi sebagian besar (kalau tidak semua) pihak yang terlibat. Dalam lingkungan pendidikan, misalnya, ketika kepala sekolah, pendidik, administrator, dan pembuat kebijakan membuat keputusan yang bijaksana, pastilah berpihak pada murid. Hal ini akan menghasilkan ruang kelas dan sekolah di mana siswa merasa aman, dihormati, dan termotivasi untuk belajar. Dalam konteks yang lebih luas, prinsip ini meluas ke berbagai organisasi dan bahkan komunitas, di mana pengambilan keputusan yang tepat akan mendorong terbentuknya budaya positif,  inklusivitas, keadilan, dan pertumbuhan kolektif. 

7. Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Tantangan - tantangan di lingkunngan saya untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika misalnya adanya penolakan dari pihak - pihak tertentu yang sudut pandangnya bisa jadi juga benar, kurangnya komitmen dalam merealisasikan hasil keputusan.

8. Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Keputusan yang baik adalah keputusan yang berpihak pada murid. Untuk mencapai keberpihakan ini, hendaknya siswa diberikan kemerdekaan dalam pembelajaran, namun tetap dalam pengawasan pihak - pihak terkait. Dengan adanya pertimbangan ini, pendidik akan memperhatikan dengan detail keadaan siswa secara khusus, bukan umum saja. 

Untuk memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda, pendidik perlu lebih aktif dalam mengenali siswa serta memahami latar belakang maupun semua atribut yang menempel padanya. Selain itu, akan terbentuk otonomi, rasa percaya diri, dan rasa memiliki hak pilihan di kalangan siswa yang dapat membantunya mengambil keputusan di masa yang akan datang.

9. Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Kemampuan seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat berdampak besar pada kehidupan dan masa depan siswanya. Keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin pendidikan, baik yang berkaitan dengan desain kurikulum, metodologi pengajaran, atau lingkungan sekolah secara keseluruhan, mempunyai konsekuensi yang luas. Pilihan-pilihan ini dapat menentukan kualitas pendidikan yang diterima siswa, berdampak pada pertumbuhan akademis, pengembangan keterampilan, dan keingintahuan intelektual mereka. Selain itu, keputusan kepemimpinan yang efektif dapat menciptakan budaya sekolah yang suportif dan inklusif, menumbuhkan rasa memiliki dan kesejahteraan emosional di kalangan siswa. Selain akademisi, pemimpin pendidikan mempunyai kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai, etika, dan pola pikir berkembang pada siswanya, sehingga memengaruhi pengembangan karakter dan pedoman moral mereka. Selain itu, keputusan terkait alokasi sumber daya, pengembangan staf, dan keterlibatan masyarakat dapat meningkatkan pengalaman pendidikan secara keseluruhan, memastikan bahwa siswa siap menghadapi tantangan dan peluang yang ada di depan dalam hidup mereka. Intinya, keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin pembelajaran dapat meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada lintasan dan potensi setiap siswa, sehingga membentuk masa depan pribadi dan profesional mereka

10. Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Dari pembelajaran modul ini dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan erat kaitannya dengan modul-modul sebelumnya yaitu filosofi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, nilai, peran, dan visi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak kepada murid, pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial emosional, serta coaching. Dalam menjalankan hal - hal tersebut seorang guru sering dihadapkan pada situasi yang mewajibkannya untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab. Hal - hal di atas juga yang kemudian ikut mendasari pengambilan keputusan tersebut. Ini menunjukkan bahwa setiap aspek pengajaran dan kepemimpinan saling melengkapi. Dengan menggabungkan wawasan dari modul sebelumnya mengenai pedagogi, keterlibatan siswa, dan kepemimpinan pendidik, kita dapat menciptakan pengalaman pembelajaran yang inklusif dan memberdayakan yang memaksimalkan potensi setiap siswa. Dengan kata lain, untuk mewujudkan pendidikan yang efektif, aspek - aspek dalam setiap modul perlu diintegrasikan.

11. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Konsep yang saya pahami dalam modul 3.1, yaitu:

a. Perbedaan antara etika dan etiket dimana etika merupakan keseluruhan asas maupun nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk sedangkan etiket bermakna sopan santun.

b. Perbedaan antara dilema etika dan bujukan moral. Dalam situasi dilema etika, kedua pilihan yang dihadapi adalah benar, dengan dua nilai kebajikan yang berbeda. Sedangkan, dalam situasi Bujukan Moral, seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah. Umumnya, hal yang salah merupakan hal yang sudah lumrah dilakukan sebelumnya.

c. Secara umum dilema etika dapat dikategorikan sebagai Individu lawan kelompok (individual vs community), Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).

d. Terdapat 3 prinsip dilema etik, yaitu:

End-based Thinking (Utilitarianism): Ini adalah pendekatan etika yang berfokus pada hasil akhir atau konsekuensi dari tindakan. Prinsip ini berarti kita harus mempertimbangkan tindakan mana yang akan menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah orang terbanyak. Dalam situasi dilema etika, pertanyaannya adalah, "Tindakan mana yang akan memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang?"

Rule-based Thinking (Deontologis): Pendekatan ini lebih berfokus pada ketaatan terhadap aturan atau prinsip moral tertentu. Dalam prinsip ini, yang penting adalah melakukan apa yang dianggap sebagai tugas atau kewajiban kita, tanpa memandang akibatnya. Dalam dilema etika, pertanyaannya adalah, "Apakah tindakan ini sesuai dengan aturan moral atau kewajiban yang berlaku?"

Care-based Thinking: Ini menekankan pentingnya perhatian dan empati terhadap orang lain. Ini berarti mempertimbangkan hubungan dan perasaan dalam pengambilan keputusan etis. Dalam prinsip ini, kita cenderung merenungkan bagaimana tindakan kita akan memengaruhi kepentingan orang lain. Dalam dilema etika, pertanyaannya adalah, "Bagaimana tindakan ini akan memengaruhi orang lain?"

e. Untuk memandu kita dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan, ada 9 langkah yang dapat dilakukan, yaitu:

1) Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan. Penting bagi kita untuk bertanya mengapa langkah ini penting untuk dilakukan. Pertama, kita harus mengidentifikasi masalah yang sedang kita hadapi, kemudian memastikan bahwa masalah yang kita hadapi memang betulbetul berhubungan dengan aspek moral, bukan sekedar masalah yang berhubungan dengan sopan santun dan norma sosial.

2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini. Bila kita telah mengenali bahwa ada masalah moral di situasi yang sedang kita hadapi, pertanyaannya adalah dilema siapakah ini? Jika permasalahan ini sudah menyangkut aspek moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil.

3) Mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini. Data tersebut mencakup dapat apa yang terjadi di awal situasi tersebut, bagaimana hal itu terkuak, apa yang akhirnya terjadi, siapa berkata apa pada siapa, kapan mereka mengatakannya, dll. Hal ini penting untuk menemukan faktor-faktor pendorong dan penarik yang menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu, mencerminkan kepribadian seseorang dalam situasi tersebut, dan memungkinkan kita menganalisis hal-hal potensial yang bisa terjadi di waktu mendatang.

4) Melakukan Pengujian benar atau salah

a) Uji Legal

Jika jawaban untuk pertanyaan "Apakah ada aspek pelanggaran hukum dalam situasi itu?" adalah iya, maka situasi yang ada bukanlah antara benar lawan benar (dilema etika), namun antara benar lawan salah (bujukan moral). Keputusan yang harus diambil dalam situasi adalah pilihan antara mematuhi hukum atau tidak, dan keputusan ini bukan keputusan yang berhubungan dengan moral.

b) Uji Regulasi/Standar Profesional

Bila situasi yang dihadapi adalah dilema etika, dan tidak ada aspek pelanggaran

hukum di dalamnya, pertanyaannya adalah: Apakah ada pelanggaran peraturan atau kode etik di dalamnya? Seseorang tidak bisa dihukum karena melanggar kode etik profesi, tapi kita dapat kehilangan respek sehubungan dengan profesi kita.

c) Uji Intuisi

Langkah ini mengandalkan tingkatan perasaan dan intuisi kita dalam merasakan apakah ada yang salah dengan situasi ini, apakah tindakan ini mengandung hal-hal yang akan membuat kita merasa dicurigai. Uji intuisi ini mempertanyakan apakah tindakan ini sejalan atau berlawanan dengan nilai-nilai yang kita yakini. Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yang tidak bertanya tentang konsekuensi tapi bertanya tentang prinsip-prinsip yang mendalam.

d) Uji Publikasi

Pertanyaan lainnya adalah "Apa yang akan kita rasakan bila keputusan ini dipublikasikan di media cetak maupun elektronik dan menjadi viral di media sosial?" Bila kitamerasa tidak nyaman kemungkinan besar kita sedang menghadapi benar situasi benar lawan salah atau bujukan moral, bukan dilema etika. Uji publikasi berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir.

e) Uji Panutan/Idola

Dalam uji ini, kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang merupakan panutan kita, misalnya ibu. Keputusan apa yang kira-kira akan beliau ambil, jika berada di posisi kita karena beliau adalah orang yang menyayangi kita dan sangat berarti bagi kita. Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking).


Bila situasi dilema etika yang dihadapi, gagal di salah satu uji keputusan tersebut atau bahkan lebih dari satu, maka sebaiknya kita tidak mengambil resiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan diri sendiri karena situasi tersebut merupakan bujukan moral.

5) Melakukan pengujian Paradigma Benar lawan Benar. Pikirkan paradigma mana yang dihadapi dari 4 paradigma dilema etika.

6) Melakukan Prinsip Resolusi. Pikirkan dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai.

7) Menginvestigasi Opsi Trilema. Dalam mengambil keputusan, seringkali ada 2 pilihan yang bisa kita pilih. Terkadang kita perlu mencari opsi di luar dari 2 pilihan yang sudah ada. Kita bisa bertanya pada diri kita, apakah ada cara untuk berkompromi dalam situasi ini. Terkadang akan muncul sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah kebingungan menyelesaikan masalah. Itulah yang dinamakan investigasi opsi trilema.

8) Membuat Keputusan

9) Melihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Salah satu wawasan yang tidak terduga adalah realisasi betapa konsep-konsep ini saling terkait dengan tanggung jawab pendidik dan sangat penting untuk menguasainya guna menunjang pelaksanakan tugas pokok dan fungsi guru dalam kehidupan sehari - hari.

12. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum mempelajari modul ini, saya memang pernah menghadapi dilema etika, namun saya baru menggunakan beberapa konsep yang saya pelajari dalam modul ini (walaupun sebelumnya tidak mengetahuinya secara langsung), misalnya mempertimbangkan apakah keputusan yang saya ambil melanggar hukum/peraturan atau tidak (uji legal/regulasi), dan apakah keputusan ini berdampak positif hanya bagi individu maupun kelompok. 

13. Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Dengan memahami konsep ini, saya menjadi semakin percaya diri dalam menganalisis situasi (bukan hanya yang berkaitan dengan profesionalisme tetapi juga pribadi/personal) dan menentukan solusi dari pilihan - pilihan yang tersedia terutama jika persoalan - persoalan tersebut merupakan dilema etika.

14. Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?

Topik pada modul ini sangat membantu saya dalam melatih kematangan saya dalam praktik pengambilan keputusan yang mengandung bujukan moral dan dilema etika baik sebagai individu maupun seorang pemimpin.


Sekian rangkuman yang dapat saya sampaikan. Terima kasih. 


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.

Calon Guru Penggerak Angkatan 11

Kabupaten Tabanan

Provinsi Bali

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Salam dan Bahagia!

Kali ini saya akan menyampaikan koneksi antar materi untuk modul 2.3 yaitu mengenai Coaching untuk Supervisi Akademik. Dari mempelajari modul 2.3, saya dapat menyimpulkan sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan makna antara coaching, mentoring, konseling, training, dan fasilitasi. Mentoring bertujuan membagi pengetahuan dan keterampilan dari orang yang berpengalaman ke yang kurang berpengalaman. Coaching bertujuan menuntun coachee menemukan ide atau solusi permasalahan dimana hubungan coach dan coachee bersifat setara. Konseling bertujuan untuk memecahkan masalah emosi dan psikologis, hubungan yang terjalin adalah antara konselor dan orang yang membutuhkan bantuan. Training bertujuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan trainee, dan diberikan oleh seorang ahli. Dan fasilitasi bertujuan membantu kelompok mengidentifikasi dan memecahkan masalah, dilakukan oleh fasilitator yang bukan merupakan bagian dari kelompok yang difasilitasi.

2. Kompetensi Inti Coaching terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. 

Kehadiran penuh merupakan kemampuan untuk hadir secara utuh bagi coachee sehingga badan, pikiran, dan hati selaras saat melakukan proses coaching. Hal ini berhubungan erat dengan kesadaran diri dan perlu dilatih agar bisa fokus untuk bersikap terbuka, sabar, dan ingin tahu lebih banyak mengetahui tentang coachee. Salah satu cara untuk melatihnya adalah dengan teknik STOP.

Seorang coach yang baik akan lebih banyak mendengarkan dalam proses coaching sehingga kemampuan menyimak sangat penting. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dihindari agar dapat mendengar dengan aktif, yaitu Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Ketika mendengarkan, kita tidak boleh memiliki anggapan (asumsi) tertentu yang belum tentu benar, sehingga lebih baik mengkonfirmasinya langsung kepada coachee ketika ada hal atau situasi tertentu yang membuat coach ragu. Memberikan penilaian / label kepada coachee juga dapat menghambat proses coaching karena sejatinya penilaian kita terhadap suatu situasi tidak lebih penting daripada penilaian coachee itu sendiri. Kita juga hendaknya tidak terbawa suasana dengan mengaitkan (asosiasi) hal - hal dalam coaching dengan pengalaman pribadi kita karena dengan demikian kita cenderung akan memberikan nasehat, alih - alih pertanyaan untuk mengarahkan coachee menemukan solusinya sendiri. Ketika ketiga hal ini terjadi, kita harus menyadarinya dan kembali fokus mendengarkan coachee. Dalam mendengarkan, penting bagi coach untuk menangkap kata - kata kunci yang disebutkan coachee misalnya yang diucapkan dengan intonasi tertentu, disebutkan berulang, diwakili metafora atau bahasa asing, atau disertai emosi, untuk dapat menggali informasi yang implisit.

Dalam mengajukan pertanyaan berbobot, coach harus dapat merangkup pernyataan coachee dari mendengarkan secara aktif, menggunakan kata tanya apa, bagaimana, seberapa, kapan, dan dimana dalam bentuk pertanyaan terbuka (eksploratif), menghindari kesan menghakimi dengan tidak menggunakan kata tanya mengapa, mengajukan pertanyaan satu per satu, memberikan jeda untuk coachee memproses pertanyaan dan setelah menjawab, dan membantu coachee (membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya).

Untuk mengajukan pertanyaan berbobot, coach dapat menggunakan metode RASA (Receive: menerima semua informasi dari coachee, Appreciate: menghargai coachee dengan respon yang positif, Summarize: merangkum apa yang disampaikan oleh coachee untuk mengkonfirmasi atau memastikan simpulan kita tepat, Ask: mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar, lebih mendalam, dan sesuai kiat- kiat mengajukan pertanyaan berbobot di atas).

3. Ada 4 jenis percakapan coaching yaitu percakapan untuk perencanaan, pemecahan masalah, berefleksi, dan kalibrasi (swanilai kinerja)

4. Model coaching GROW berarti Goal (coach perlu mengetahui TUJUAN yang ingin dicapai coachee melalui sesi coaching), Reality (coaching menggali hal - hal NYATA yang terjadi pada diri coachee), Options (Coach membantu coachee memilah PILIHAN - PILIHAN yang timbul dari pemikiran selama proses coaching), Will (Coachee memiliki KEINGINAN atau komitmen untuk membuat rencana aksi dan merealisasikannya).

5. Alur percakapan coaching TIRTA terdiri dari:

Tujuan: coach dan coachee menyepakati tujuan sesi coaching

Identifikasi: coach menggalli dan memetakan situasi yang sedang dibicarakan dengan menghubungkan fakta - fakta dan anggapan yang disampaikan coachee

Rencana aksi: coach menuntun kemunculan pengembangan ide atau alternatif solusi yang akan dibuat dari pihak coachee

TAnggung jawab: coachee membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya

6. Umpan balik perlu diberikan untuk membantu pengembangan diri coachee dalam bentuk pertanyaan reflektif dan menggunakan data yang valid.

7. Supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas.  Atau dengan kata lain untuk mengembangkan performa guru dan murid, mendorong pengembangan diri, dan monitoring pencapaian tujuan pembelajaran, sehingga hal ini fokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

8. Prinsip-prinsip supervisi akademik terdiri dari:

  • kemitraan
  • konstruktif
  • terencana
  • reflektif
  • objektif
  • berkesinambungan
  • komprehensif

9. Siklus supervisi klinis terdiri dari Pra-observasi, observasi, dan pasca observasi. 

Pada percakapan pra-observasi, dibangun hubungan antara guru dan supervisor sebagai mitra dalam pengembangan kompetensi diri untuk membangun kepercayaan dari guru kepada supervisor, memberi rasa tenang mengenai tujuan dari rangkaian supervisi, dan memberi rasa percaya diri dan motivasi internal karena guru ikut terlibat dalam prosesnya. Pada fase ini, sepervisor menyampaikan tujuan supervisi dan tujuan percakapan awal, guru menyampaikan RPP dan menginformasikan aspek perkembangan yang hendak diobservasi, sepervisor dan guru menyepakati sasaran observasi, waktu kunjungan kelas dan waktu percakapan pasca-observasi, serta supervisor menginformasikan bahwa ia akan mencatat kegiatan pembelajaran.

Pada proses observasi, supervisor melakukan pengamatan di kelas dan mengumpulkan informasi secara objektif mengenai aspek pengembangan yang sudah disepakati. Sedangkan, pada saat percakapan pasca observasi, terjadi proses analisis hasil data observasi sesuai dengan tujuan coaching, percakapan umpan balik, perencanaan area pengembangan, dan rencana aksi pengembangan diri. Dalam hal ini, diharapkan agar guru dapat menemukan sendiri area pengembangan selanjutnya. 

10. Tindak lanjut supervisi dapat dilakukan melalui percakapan coaching, kegiatan kelompok kerja guru, fasilitasi dan diskusi, dll. Kegiatan ini hendaknya dilaksanakan secara berkelanjutan. 

Dari proses pembelajaran modul 2.3, saya mempelajari konsep coaching dan mempraktikkan prinsipnya langsung dengan rekan CGP. Saya juga berkesempatan berlatih melakukan proses supervisi akademik terhadap rekan yang berperan sebagai coach. Setelah menjalani semua prosesnya, saya merasa sangat senang karena banyak hal yang dapat saya pelajari, misalnya bagaimana untuk melakukan coaching kita sebagai coach harus berfokus pada coachee, menuntun mereka menemukan solusi atas permasalahan sendiri dan kita harus dapat menahan diri untuk tidak "menyuapi" coachee tersebut dengan ide - ide kita. Dari praktik coaching ini saya juga belajar menempatkan diri, dimana kita sebagai coach dan supervisor harus mampu bersifat netral dan memahami kesetaraan, dimana jika coachee kita adalah seorang yang lebih senior, kita tidak seharusnya merasa takut atau insecure, dan sebaliknya, jika coachee kita adalah guru yang lebih muda, tidak sepatutnya kita menggurui. Saya juga berproses dalam melatih kemampuan mendengarkan aktif, dengan tidak menghakimi, tidak melabeli, tidak berasumsi, dan tidak mengasosiasikan kasus - kasus yang dialami coachee dengan pengalaman kita. Hal ini mengingatkan saya untuk menyadari bahwa dunia tidak berputar dan berpusat pada kita. Secara umum, saya merasa bahwa saya telah mampu menerapkan proses coaching dengan cukup baik karena saya dapat mengimplementasikannya sesuai dengan alur TIRTA. Saya ingat untuk menanyakan tujuan coaching terhadap coachee, saya mampu mengidentifikasi permasalahan yang dialami dan potensi yang dimiliki oleh coachee, saya mampu menggali rencana aksi yang ingin dilakukan oleh coachee, dan memastikan tanggung jawab atau komitmen coachee untuk menjalankan rencananya. Akan tetapi, masih ada ruang untuk saya berkembang, terutama dalam memperbaiki kemampuan saya memberikan pertanyaan berbobot agar tetap relevan dan bersifat menuntun sehingga coach dapat menuntun coachee untuk menemukan potensi - potensi yang dapat membantu coachee. Oleh karena itu saya berharap, dengan ilmu dan keterampilan yang telah saya dapatkan, saya dapat menerapkannya untuk melakukan proses coaching terhadap siswa maupun rekan sejawat yang mengalami permasalahan baik pribadi maupun profesional, sehingga saya dapat menuntun mereka untuk menemukan solusi atau pemecahannya, bukan menyuapi mereka dengan solusi seperti yang selama ini saya sering lakukan.

Dari sini kemudian timbul pertanyaan, seberapa pentingkah kemampuan coaching bagi guru? Sudah tentu, sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bertujuan untuk "menuntun" siswa untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi - tingginya. Hal ini serupa dengan konsep coaching yang berupaya menuntun coachee untuk menemukan sendiri solusi bagi permasalahannya. Keterampilan coaching tentu dapat membantu guru untuk membantu siswa mencapai kemandirian dalam memecahkan masalah dan juga membantu guru lain. Selain itu, proses coaching erat kaitannya dengan pembelajaran diferensiasi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar murid, yaitu minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru mendesain pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar murid agar potensi murid mampu dikembangkan secara optimal. Hal inilah yang selaras dengan praktik coaching dimana coach berupaya mengoptimalkan potensi coachee untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Dengan pemahaman akan kebutuhan belajar murid, saya juga sudah mendapat sedikit konsep bagaimana cara menggali kebutuhan seseorang yang dapat diterapkan ketika menggali informasi dari coachee. 

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks yang dekat dengan saya yaitu adanya kecenderungan untuk melakukan Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi. Dalam proses coaching, seorang coach diharapkan dapat memiliki kompetensi yang terdiri dari kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kehadiran penuh dapat tercapai ketika seseorang bersikap mindful dalam melakukan sesuatu. Mindfulness inilah erat kaitannya dengan apa yang sudah saya pelajari dalam modul 2.2 terkait dengan pembelajaran sosial dan emosi, khususnya terkait teknik STOP yang terdiri dari Stop (berhenti saat kejadian apapun sedang berlangsung), Take a breath (Tarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri, Observe (mengamati pikiran dan perasaan pribadi), dan Proceed (memperoses dengan sebuah tindakan akan mendukung diri, atau melanjutkan yang dilakukan sebelumnya setelah bebas dari distraksi). Dalam mendengarkan aktif, sebagai solusi untuk menghindari Asumsi, Melabel (judgment), dan Asosiasi, coach juga dapat mengembalikan fokus dengan teknik STOP tersebut. 

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran di kelas. Sebelumnya, supervisi akademik merupakan pengalaman yang cukup menegangkan karena saya takut mendapat kritikan dari observer. Akan tetapi, setelah mempelajari modul 2.3 saya mendapati bahwa hal ini seharusnya dilakukan dengan teknik coaching. Sehingga, dengan adanya coaching, performa guru dan murid dapat ditingkatkan melalui mendorong pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, peningkatan motivasi atau komitmen diri. 

Secara umum, saya dapat memahami dengan baik isi modul 2.3 setelah mempelajari konsep dan mempraktikkannya bersama rekan - rekan CGP. Untuk menambahkan pengetahuan tersebut, saya belum membaca sumber lain di luar PGP maupun mengikuti pelatihan yang berkaitan. Akan tetapi, wejangan - wejangan dan praktik baik dari rekan Guru Penggerak sangat membantu saya dalam memahami lebih dalam mengenai praktik coaching. Mereka bahkan tidak hanya memberikan teori - teorinya saja, akan tetapi memberikan contoh atas apa yang sudah dilakukan sehingga saya mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai coaching untuk dapat meningkatkan keterampilan coaching saya dengan terus berlatih.


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.

SMK Negeri 1 Tabanan

Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Tabanan




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional

 Salam dan Bahagia!

Kali ini saya akan menyampaikan Koneksi Antar Materi Modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional.

  1. Sebelum mempelajari modul ini, saya berpikir bahwa pembelajaran sosial emosional tidak dapat diintegrasikan dengan pembelajaran saya di kelas sehingga saya tidak pernah berfokus dengan pemmbelajaran sosial emosional. Namun, sudah ada beberapa hal yang saya terapkan di kelas yang ternyata merupakan penerapan pembelajaran sosial emosional tetapi saya hanya belum mengetahui teorinya. Misalnya menanyakan emosi, memberikan kesempatan kepada siswa membuat jurnal Syukur, dll.
    Setelah mempelajari modul ini, ternyata pembelajaran sosial emosional sangat penting bagi siswa dan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sehari – hari, bahkan akan lebih baik lagi jika dibangun menjadi iklim sekolah (diterapkan oleh setiap warga sekolah).
  2. Berkaitan dengan kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being),  3 hal mendasar dan penting yang saya pelajari adalah:

a.    Pentingnya peningkatan 5 (lima) kompetensi sosial emosional, yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab untuk meningkatkan perilaku positif.

b.    Pentingnya kesadaran penuh (mindfulness) dalam penerapan PSE

c.    Penerapan PSE yang maksimal akan berdampak positif terhadap kesejahteraan psikologis (well-being) setiap individu di sekolah, dan dapat meningkatkan kompetensi akademik siswa

  1. Berkaitan dengan no 2, perubahan yang akan saya terapkan di  kelas dan sekolah:
    1. bagi murid-murid: meningkatkan integrasi pembelajaran sosial emosional untuk meningkatkan kompetensi murid dalam memahami diri, meregulasi emosi, membangun empati, membina hubungan positif dengan orang lain, serta membuat Keputusan yang bertanggung jawab.
    2. bagi rekan sejawat: berupaya secara konsisten untuk dapat menjadi teladan, belajar dan berkolaborasi dalam penerapan PSE dan peningkatan KSE.

Dengan demikian terdapat kaitan pembelajaran sosial dan emosional yang telah saya pelajari dengan modul-modul sebelumnya yakni:

1. Dengan mengimplementasikan pembelajaran guna meningkatkan kompetensi sosial emosional siswa maka seorang pendidik telah menunjukkan upaya untuk mencapai filosofi pendidikan KHD. Karena, ketika siswa menguasai 5 (lima) KSE, siswa dapat memahami diri, meregulasi emosi, membangun empati, membina hubungan positif dengan orang lain, serta membuat Keputusan yang bertanggung jawab. Dengan pemahaman diri yang baik dan kemampuan mengelola emosi, siswa akan lebih tahan terhadap stres dan tekanan mental, siswa dapat menjaga hubungan dan komunikasi yang sehat dengan orang lain, menebarkan kebaikan (kindness), bertumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan lebih berdaya lenting (resilient) dalam menghadapi segala konsekuensi yang harus dihadapi akibat keputusan yang dibuat dalam hidupnya atau dengan kata lain menuntun anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

2. Guru menjalankan nilai dan peran seorang guru penggerak, sebagai pemimpin pembelajaran secara mandiri, reflektif, kolaboratif dan inovatif melakukan pembelajaran sosial emosional sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang berpihak pada murid. Guru juga menjadi tauladan, aktif belajar, dan berkolaborasi, menggerakkan PTK dan komunitas untuk menerapkan PSE dan meningkatkan KSE demi murid.

3. Melalui implementasi PSE, guru dapat mewujudkan visi yaitu menumbuhkembangkan profil pelajar pancasila pada diri murid-muridnya.

4. Pembelajaran Sosial Emosional membantu seluruh komunitas di sekolah dalam memahami diri, meregulasi emosi, membangun empati, membina hubungan positif, dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab dapat mendukung terwujudnya budaya positif di sekolah.

5. Pembelajaran Sosial Emosional sejalan dengan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan belajar murid, karena penerapan PSE dapat mendukung identifikasi kebutuhan belajar yang dimiliki oleh murid terkait kesiapan belajar, minat dan profil belajar murid, dan dengan peningkatan KSE pada murid, kemampuan akademik murid juga dapat meningkat.


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd., M.Pd.

CGP Angkatan 11 Kab Tabanan

Bali

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koneksi Antar Materi Modul 2.1 Pembelajaran untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid

Salam dan Bahagia!

Kali ini saya akan membahas mengenai Pembelajaran Berdiferensiasi dan koneksi modul 2.1 dengan modul PGP sebelumnya. Penjelasan mengenai Pembelajaran Berdiferensiasi yang saya sampaikan di sini merupakan konsep yang saya pelajari dari modul PGP, modul diklat Fostering Student Motivation and Engagement yang pernah saya ikuti, serta sumber - sumber lain.

Pembelajaran berdiferensiasi adalah metode pengajaran di mana guru menggunakan berbagai cara yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan individu setiap siswa.

Adapun Ciri-ciri/karakteristik Pembelajaran Berdiferensiasi, yaitu

1. Berorientasi pada peserta didik, dimana guru merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. 

2. Menyediakan berbagai pendekatan. Pembelajaran diferensiasi dapat melakukan berbagai pendekatan dalam konten, proses, maupun produk.

3. Berakar pada asesmen. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, terdapat asesmen formatif guna melakukan perubahan dan perbaikan selama pembelajaran serta asesmen formatif untuk menentukan tingkat pemahaman siswa terhadap pembelajaran.

4. Campuran dari pembelajaran klasikal dan individu dengan bentuk pengelompokan yang bervariasi


Menurut Tomlinson (2013), perbedaan kebutuhan belajar yang dimiliki siswa terdiri dari kesiapan belajar, minat, dan profil belajar. Sehubungan dengan itu, ada 3 macam strategi diferensiasi yang bisa dilakukan sehingga siswa dapat belajar dengan maksimal.

1. Diferensiasi Konten

Kita dapat memberikan jenis kegiatan yang sama kepada siswa dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Kita juga dapat memberikan scaffolding untuk membantu siswa.

-Berikan dukungan di awal dan secara bertahap hilangkan dukungan tersebut saat tidak lagi dibutuhkan

-Aktifkan pengetahuan awal siswa dan hubungkan dengan konsep baru

-Ajarkan kosa kata terlebih dahulu sebelum membahas teks bacaan

-Bagi kegiatan menjadi langkah-langkah sederhana

-Berikan model yang dapat ditiru siswa

-Berikan kalimat yang kosong untuk diisi

-Berikan waktu berpikir yang cukup sebelum menjawab pertanyaan

 

2. Diferensiasi Proses

Artinya, kita memberikan tugas yang berbeda kepada siswa yang berbeda.

Kita dapat membangun stasiun pembelajaran (learning stations) tempat kelompok-kelompok siswa mengerjakan berbagai aktivitas. Misalnya, kita memiliki 4 stasiun. Di stasiun Menulis, siswa membuat daftar/cerita, menulis esai menggunakan kosakata yang diberikan, merencanakan penulisan fiksi/nonfiksi, menanggapi pertanyaan/petunjuk, dll. Di stasiun Membaca, siswa membaca secara mandiri, bergiliran membaca dengan suara keras, menanggapi teks dengan menggambar, menulis, atau menjawab pertanyaan, melengkapi pengatur grafis, dll. Di stasiun Mendengarkan, mereka mendengarkan teks/dialog lalu menulis jurnal, menjawab pertanyaan tentang apa yang telah didengarkan, mengisi bagian yang kosong, dll. Sementara itu, di pos Guru, siswa belajar, mengulas, atau memperkuat keterampilan/konsep tertentu. Ini terutama dapat ditujukan kepada siswa yang memerlukan bantuan (kelompok siswa yang kurang menguasai) atau kelompok siswa yang berkemampuan lebih dan memerlukan pengayaan.

1.   3. Diferensiasi Produk

Siswa dapat menunjukkan pemahaman atau keterampilan mereka dengan berbagai cara, seperti membuat video, berpidato/berdiskusi di TED, membuat poster, menulis karya tulis, membuat sandiwara, dan lain-lain sesuai dengan minat mereka.

Contoh Pembelajaran Berdiferensiasi:

1. Memberikan beberapa teks dengan beberapa topik berbeda sesuai minat siswa (diferensiasi konten)

2. Memberikan hands on materials kepada siswa yang masih belajar konkrit dan memberikan soal langsung kepada siswa yang sudah pada level belajar hal abstrak

3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar pada pojok – pojok kegiatan

di kelas dengan pertanyaan pemandu yang berbeda – beda (diferensiasi proses)

4. Memberikan tenggat waktu lebih panjang kepada siswa yang memerlukan

tambahan waktu dalam pengerjaan tugas (diferensiasi proses)

5. Memberikan pilihan kepada siswa untuk menunjukkan pemahaman dalam bentuk

menulis, melakukan presentasi, membuat video, dll (diferensiasi produk)


Yang bukan merupakan contoh pembelajaran berdiferensiasi:
1. Memberikan lebih banyak tugas kepada siswa yang lebih pintar, dan memberikan lebih sedikit tugas kepada siswa yang kurang pintar
2. Menyediakan hanya 1 macam kegiatan pembelajaran untuk siswa dalam 1 kelas
3. Guru selalu mengelompokkan siswa berdasarkan gaya belajarnya (visual, auditori, dan kinestetik) dan siswa selalu belajar dengan gaya belajar yang sama

Pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal karena pembelajaran diferensiasi memang dibuat berdasarkan adanya perbedaan kebutuhan murid, yang meliputi kesiapan belajar, minat, dan profil belajar. Sebagai contoh, adanya diferensiasi produk merupakan salah satu upaya untuk mengakomodir adanya perbedaan minat pada murid sehingga guru memberikan kebebasan kepada murid untuk mengekspresikan pemahamannya terhadap suatu materi dalam bentuk produk yang sesuai dengan minat murid. diferensiasi proses misalnya, merupakan upaya untuk menanggapi adanya perbedaan kesiapan belajar sehingga dengan bantuan equalizer, guru dapat memberikan bantuan pembelajaran sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa. 
Pada modul 1.1, saya mempelajari filosofi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dimana Beliau beranggapan bahwa pendidikan harus dilaksanakan dengan mengikuti kodrat alam dan kodrat zaman, dan bertujuan menuntun siswa untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi - tingginya. 
Modul 1.2 membahas nilai guru penggerak yang salah satunya adalah berpihak pada murid dan peran guru penggerak yang menjadi pemimpin pembelajaran, modul 1.3 mengenai visi guru penggerak dimana guru berupaya mewujudkan pembelajaran yang berkualitas dengan melakukan analisis BAGJA untuk mencapainya, dan modul 1.4 mengenai budaya positif. Semua konsep inilah yang kemudian direalisasikan di kelas melalui adanya pembelajaran yang berpihak pada murid, yaitu pembelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan murid dalam wujud PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI. Karena itu, penting bagi guru untuk memahaminya karena semua teori - teori tersbut bermuara pada implementasi di kelas, dalam hal ini pembelajaran berdiferensiasi.


Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.
SMK Negeri 1 Tabanan
Calon Guru Penggerak Angkatan 11
Kabupaten Tabanan, Bali

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aksi Nyata Modul 1.4 Budaya Positif

Salam dan Bahagia!
Berikut saya sampaikan pelaksanaan aksi nyata modul 1.4 yang saya lakukan di sekolah.

A. LATAR BELAKANG

Penerapan budaya positif disekolah merupakan salah satu upaya peningkatan kualitapendidikan nasional.
Penerapan budaya positif ini tidak bisa dilakukan tanpa kolaborasi dari semua warga sekolah. Dengan penerapan budaya positif ini diharapkan dapamewujudkan visi dan misi sekolah.

B. TUJUAN
Dengan penerapan budaya positif, siswa diharapkan dapat memiliki perilaku sesuai Profil Pelajar Pancasila. Aksi nyata dapat menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah dimulai dari pembuatan keyakinan kelas hingga terbentuk keyakinan sekolah, yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila.

C. TOLOK UKUR
Siswa mampu membuat kesepakatan tentang keyakinan kelas untuk ditaati bersama. Peserta dapat mengaplikasikan nilai-nilai profil pelajar Pancasila secara sadar dan berkesinambungan dalam proses belajar.
 
D. LINIMASA TINDAKAN YANG DILAKUKAN
1. Sosialisasi kepada Kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan terkait Disiplin Positif dan Nilai-Nilai Kebajikan Universal, Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Keyakinan Kelas, Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas, Lima Posisi Kontrol, dan Segitiga Restitusi.
2. Guru menjelaskan tentang keyakinan kelas kepada siswa dan memfasilitasi pembuatan keyakinan kelas
3. Menumbuhkan, menanamkan dan membiasakan nilai-nilai profil pelajar pancasila
4. Mendokumentasikan setiap kegiatan yang menumbuhkan, mencerminkan dan membiasakan nilai-nilai profil pelajar Pancasila.
 
E. DUKUNGAN YANG DIBUTUHKAN Dukungan dari seluruh warga sekolah serta partisipasi aktif orang tua di rumah dalam membiasakan budaya positif.
Kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan menjadi role model/teladan bagi siswa dalam menanamkan budaya positif di sekolah.
Kolaborasi seluruh warga sekolah dalam menciptakan serta membiasakan budaya positif di sekolah 

F.
REFLEKSI AKSI NYATA
Kegiatan aksi nyata diikuti oleh 13 orang guru dan tenaga kependidikan di lingkungan SMK Negeri 1 Tabanan. Setelah dibuka oleh Ibu Wakil Kepala Sekolah urusan Kurikulum, 2 orang Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Tabanan menyampaikan materi terkait Budaya Positif di sekolah. Peserta diseminasi merupakan guru - guru baru di sekolah serta tenaga kependidikan yang sebelumnya belum mengikuti diseminasi mengenai budaya positif yang dilaksanakan oleh rekan guru CGP angkatan sebelumnya. Setelah mendengarkan penjelasan konsep serta contoh penerapan pembuatan keyakinan kelas dan penerapan langkah - langkah segitiga restitusi, para peserta diseminasi memberikan pertanyaan - pertanyaan kepada pembicara (CGP) yang menunjukkan antusiasme warga sekolah, terutama guru, untuk membangun budaya positif di SMK Negeri 1 Tabanan. Melalui pelaksanaan aksi nyata yang berjalan dengan lancar ini, walaupun hanya dilakukan dalam kelompok kecil, CGP berharap agar semua warga sekolah berkomitmen untuk mewujudkan budaya positif di sekolah karena tanpa dukungan dari semua pihak, budaya positif tersebut tidak akan terwujud.


Ni Putu Herma Yanthi

CGP Angkatan 11
Kabupaten Tabanan


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS