Salam Guru Penggerak!
Pada kesempatan ini saya ingin merangkum materi yang telah saya pelajari selama mempelajari modul 1.1 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 11 tentang pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pengajaran adalah pendidikan melalui pemberian ilmu yang bermanfaat untuk hidup anak, lahir maupun batin. Sementara, pendidikan menuntun seluruh kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dari pernyataan tersebut, guru dapat dianalogikan sebagai petani. Petani yang menanam padi,Akan berupaya untuk memelihara padi sedemikian rupa, memastikan tanahnya baik, memberi air dan pupuk, mengusir hama, dll dengan maksud agar padi tumbuh subur. Akan tetapi, petani tidak akan mampu mengubah tumbuhan padi menjadi jagung karena tumbuhan padi memiliki kodrat sendiri yang berbeda dengan tumbuhan jagung. Ini berarti, guru dapat memberikan tuntutan pendidikan kepada siswa, untuk mengubah perilaku jahat menjadi baik dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya semaksimal mungkin.
Akan tetapi, sesuai dengan kodrat anak, ada tabiat yang dapat diubah, dan tidak dapat diubah. Yang dapat diubah adalah cara berpikir anak, sedangkan yang tidak dapat diubah adalah dasar hidupnya. Sebagai contoh, ada seorang anak yang penakut. Setelah mendapat pendidikan, watak anak tidak berubah menjadi pemberani. Hanya saja, anak menjadi mampu menimbang dan menguatkan kemauannya untuk menutupi rasa takut tersebut. Dalam kondisi tertentu, misalnya tiba-tiba, dan pikirannya tidak sempat bergerak, sifat asli anak tersebut akan tetap muncul. Karena itu, inti atau tujuan dari pendidikan adalah mengajarkan anak untuk menguasai diri dan memiliki adab atau etika sehingga memiliki budi pekerti atau karakter yang baik.
Selain itu dibahas pula hubungan antara pendidikan dan kebudayaan, dimana kebudayaan memiliki sifat yang universal, bentuk yang terjadi karena pengaruh kodrat alam, isi yang sesuai dengan waktu masyarakat, serta irama dimana cara menggunakan unsur kebudayaan itu menjadi tanggung jawab setiap orang atau masyarakat yang berpribadi. Dengan adanya perubahan dan akulturasi kebudayaan, penting bagi guru untuk mendidik anak - anak sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Dan yang paling penting untuk diingat adalah, pusat pendidikan yang paling mulia adalah lingkungan keluarga, dimana cinta kasih, semangat tolong-menolong, rasa kewajiban berkorban dan tanggung jawab dan unsur-unsur dari budi sosial dan kesusilaan sepatutnya diajarkan. Karena, lingkungan keluarga inilah yang meneruskan segala tradisi, baik yang mengenai hidup kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain-lain unsur daripada budi kesusilaan.
Kaitan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan pendidikan saat ini kemudian adalah mengingatkan guru untuk senantiasa menghargai perbedaan kodrat yang ada pada siswa, dan kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan perbedaan - perbedaan tersebut. Kita tidak bisa menanam padi dengan ilmu menanam jagung dan berharap suatu hari pagi tersebut tumbuh menjadi jagung. Tuntunlah anak tumbuh semaksimal mungkin sesuai dengan kodratnya masing - masing. Selain itu, kita juga harus menyesuaikan model pendidikan dengan kodrat alam, lingkungan, dan perkembangan budaya yang berbeda dan terus berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Saya sangat menyetujui pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini. Mengutip dari Einstein, “ Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid”.
Setiap orang itu jenius. Akan tetapi jika kita menilai seekor ikan lewat kemampuannya memanjat pohon, ikan tersebut akan hidup dengan mempercayai bahwa dirinya bodoh di sepanjang hidupnya. Saya juga beranggapan bahwa, seperti keragaman binatang, ada ikan yang pandai berenang, burung yang mahir terbang, gajah yang unggul dalam ukuran dan kekuatan, anak manusia juga memiliki bakat, minat, kelebihan, dan kekurangannya masing - masing. Merupakan tugas guru untuk membersamai anak - anak tersebut dalam pembelajaran sehingga mereka dapat mengenali, menggali, serta memaksimalkan potensi yang mereka miliki masing - masing demi kemaslahatan hidup mereka kelak di masa depan. Dalam prosesnya, guru hendaknya memberikan contoh dan tuntunan sesuai dengan perkembangan zaman untuk mengubah pola pikir anak menjadi lebih terbuka dan lebih beradab, sehingga mampu memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain serta menjadi bagian dari masyarakat yang beradab.
Dengan demikian, dalam konteks socio-kultural, salah satu konsep budaya daerah di Bali yang sesuai dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara adalah Tri Hita Karana yang berarti Tiga Penyebab Kebahagiaan yang mencakup menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Selain itu, nilai - nilai gotong royong yang diimplementasikan dalam kegiatan menyama braya juga sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Secara umum, sebenarnya tidak banyak yang berubah dari pemikiran dan perilaku saya sebelum dan setelah mempelajari modul 1.1 Program Guru Penggerak Angkatan 11 ini. Saya beruntung pernah kuliah di jurusan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha yang dosen – dosennya saat itu sebagian besar lulusan luar negeri. Dari Beliau – Beliau, saya kemudian belajar differentiated learning yang ternyata sesuai dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang saat ini berkembang kembali dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka. Ketika mempelajari modul ini, pemikiran saya seperti diingatkan kembali dengan teori Tomlinson yang saya pelajari kala itu. Sedikit kembali ke masa lalu, di tahun 2012-2013 ketika lulus dari sarjana, seorang profesor mengajak saya mengajar di Taman Kanak – Kanak milik Beliau di Singaraja. Di TK itulah saya merasakan penerapan pembelajaran berdiferensiasi sesungguhnya. Seperti TK pada umumnya, saat itu saya mengajar membaca, menulis, berhitung, kegiatan motoric, tentu saja juga mengajarkan karakter. Semua dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Saya berikan contoh, saat itu siswa saya terdiri dari 17 orang anak TK B, dengan 1 di antaranya mengidap autisme. Siswa autis tersebut diajar oleh asisten saya secara individual agar lebih optimal perkembangannya. Dari 16 siswa biasa lainnya, semuanya bisa membaca, namun dengan tingkat kesulitan kata yang berbeda. Misalnya, ada 4 orang yang paling tidak bisa membaca 2 suku kata seperti “Rumah itu besar”, sebagian besar sudah bisa membaca yang lebih panjang, misalnya Nama saya Palguna. Alamat saya di banjar banyuasri. Sementara ada satu orang siswa, yang karena sudah sangat mahir membaca dalam Bahasa Indonesia, saya ajarkan ia membaca dalam Bahasa Inggris. Benar, anak berusia belum 6 tahun, dengan orang tua asli Bali yang sehari – harinya tidak berkomunikasi dengan Bahasa Inggris di rumah. Bagaimana itu bisa terjadi? Itulah ajaibnya pembelajaran diferensiasi.
Sekembalinya saya ke kampung halaman, saya tidak lagi mengajar di
TK. Saya mengajar les privat, dan juga mengajar siswa yang lebih dewasa. Saat
itulah kemudian realita menghantam saya. Saya mengalami kesulitan dalam
menerapkan pembelajaran yang menghamba kepada siswa. Dan it uterus terjadi
selama hampir 10 tahun hingga akhirnya Kurikulum Merdeka diterapkan. Puncak
kesulitan saya adalah sejak covid-19 dimana semua orang tahu, terjadi learning
loss di kalangan siswa kita, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di
seluruh dunia.
Mata pelajaran Bahasa Inggris bukanlah mata Pelajaran yang mudah.
Banyak sekolah yang tidak memberikan pembelajaran Bahasa Inggris di SD. Dan
ketika di SMP, anak – anak terdampak covid, sehingga banyak anak – anak yang
Bahasa Inggrisnya tidak sesuai dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki anak
SMK. Hal inilah kemudian yang membuat saya semakin frustasi dalam mengajar
Bahasa Inggris.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembelajaran mengenai pemikiran Ki Hadjar Dewantara pada modul 1.1 ini tidak banyak mengubah pemikiran dan perilaku saya karena saya sendiri sudah sadar bahwa begitulah adanya, pembelajaran harus disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat zaman dan hendaknya berpusat pada siswa. Akan tetapi, dengan adanya tulisan – tulisan pada modul, juga diskusi dengan rekan – rekan CGP, tuntunan dari PP, fasilitator, dan instruktur, saya menjadi lebih termotivasi untuk menerapkannya di kelas saya dengan lebih optimal, dan memperbaiki hal - hal yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran saya.
Menurut saya, sedari awal pembentukan tujuan pembelajaran dan alur
tujuan pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan kebutuhan siswa. Guru
memperkirakan sebatas mana lingkup materi yang perlu dipelajari oleh siswa
untuk kebaikannya, dan dengan cara apa materi itu disampaikan dan dipelajari
dengan mendalami kemampuan awal siswa, serta metode belajar yang tepat agar
materi dapat dipahami dan diterapkan oleh siswa sesuai dengan yang seharusnya.
Saya sudah berupaya melakukan hal itu. Karena capaian pembelajaran Bahasa
Inggris bersifat umum, saya berusaha memilih materi yang sekiranya sesuai
dengan kebutuhan siswa. Pun dalam prosesnya, saya memberikan kegiatan yang
bervariasi, dan meminta anak menunjukkan hasil pembelajaran secara Merdeka,
misalnya dalam bentuk visual, audio, maupun audiovisual sesuai dengan keinginan
dan kemampuan mereka. Yang saya lakukan hanyalah memberikan batas minimal
jumlah kalimat yang harus mereka gunakan.
0 comments:
Post a Comment