Powered by Blogger.

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 BUDAYA POSITIF

Salam Bahagia!

Menurut Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia dan anggota masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu, terdapat nilai-nilai Guru Penggerak yang terdiri dari Mandiri, Kolaboratif, Reflektif, Inovatif, dan Berpihak Pada Peserta Didik dan peran Guru Penggerak seperti menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, dan mewujudkan kepemimpinan murid yang perlu diterapkan. Kemudian, dalam merencanakan dan menyelaraskan upaya mewujudkan tujuan pendidikan, guru penggerak menyusun visi yang mengandung kekuatan filosofi KHD yaitu keberpihakan pada murid dan mengundang upaya kolaboratif seluruh warga sekolah.Visi tersebut kemudian diturunkan menjadi tujuan-tujuan rinci berupa Prakarsa Perubahan dengan model manajemen perubahan BAGJA yang mengikuti pendekatan Inkuiri Apresiatif.

Peran saya dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan  sekolah/kelas, segitiga restitusi dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak,  serta Visi Guru Penggerak, mencakup:
1. pemantapan insersi filosofi pendidikan KHD, nilai, dan peran guru penggerak dalam diri dengan perubahan pola pikir untuk mewujudkan pendidikan berkualitas.
2. penerapan nilai dan peran guru penggerak dalam bentuk aksi nyata di lingkungan sekolah, didukung dengan prakarsa perubahan yang dilakukan guna mencapai visi pribadi sebagai guru profesional
3. berupaya menciptakan budaya positif di lingkungan belajar dengan turut serta dalam penciptaan keyakinan kelas/sekolah, berkolaborasi dengan seluruh warga sekolah, serta menjadi teladan bagi siswa dan guru lain.

Setelah melewati modul 1.4, semakin banyak konsep yang saya pelajari, di antaranya konsep - konsep yang berkaitan dengan budaya positif seperti disiplin positif, teori kontrol,  teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. 

Disiplin positif berkaitan dengan disiplin diri, kontrol diri, bagaimana seseorang menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. 

Selain itu, saya juga belajar mengenai teori kontrol oleh Dr. William Glasser, yang menunjukkan ilusi bahwa guru mengontrol siswa, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, dan bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa yang semuanya merupakan anggapan yang salah.

Di dalam modul 1.4 disebutkan bahwa motivasi perilaku manusia terdiri dari: Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Dimana motivasi terakhir inilah yang bersifat jangka panjang dan akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

Dalam proses pembelajaran, terdapat konsep penghargaan dan hukuman yang berhubungan dengan motivasi siswa. Penghargaan merupakan bentuk pengakuan atas pencapaian siswa dalam belajar. Memberikan penghargaan kepada siswa dalam bentuk pujian, hadiah, atau bentuk lain yang sesuai dengan prestasi siswa dapat meningkatkan motivasi belajar dan memberikan rasa percaya diri pada siswa. Di sisi lain, hukuman merupakan konsekuensi menyakitkan atas pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Hal ini terjadi karena dengan adanya hukuman siswa dianggap akan takut membuat pelanggaran. Sehingga, baik hukuman maupun penghargaan tidak efektif membentuk disiplin dan perilaku seseorang dalam jangka panjang. 

Dalam kaitannya dengan penindakan pelanggaran siswa, terdapat lima posisi kontrol guru yaitu sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Dimana yang harus kita lakukan sebagai guru adalah sebagai manajer yang dapat melakukan langkah - langkah segitiga restitusi yang terdiri dari menstabil identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Keyakinan yang dimaksud di sini adalah keyakinan kelas atau sekolah yang dihasilkan dari kesepakatan antara guru dan siswa yang didasarkan pada nilai - nilai kebajikan universal yang ingin diterapkan maupun dicapai di lingkungan sekolah. Restitusi sejatinya adalah proses menciptakan kondisi bagi siswa untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan siswa untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu siswa berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Langkah menstabilkan identitas dilakukan berdasarkan prinsip bahwa membuat kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran yang nantinya akan menggeser identitas gagal ke arah identitas sukses. Validasi tindakan yang salah dilakukan berdasarkan prinsip bahwa setiap perilaku berupaya memenuhi suatu kebutuhan tertentu sehingga guru atau orang tua akan bergeser dari pemikiran stimulus respon menjadi proaktif serta akan lebih mengenali dan mengakui kebutuhan siswa atau anak. Kemudian guru menanyakan keyakinan untuk memunculkan motivasi secara intrinsik sehingga mampu mengaitkan keyakinannya dengan tindakan yang salah. Jadi, restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan, sebagai penguatan karakter, dan merupakan tawaran, bukan paksaan.

Setelah melalui modul 1, terutama modul 1.4, banyak pemikiran saya yang berubah terutama dalam hal menghadapi kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Pada awalnya, saya percaya bahwa hukuman dan penghargaan merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter siswa menjadi yang kita harapkan. Ternyata, setelah mempelajari Segitiga Restitusi, saya menyadari bahwa pendekatan inilah yang efektif dalam mengubah perilaku siswa dari negatif menjadi positif dalam jangka panjang karena siswa dilibatkan dalam menyadari kesalahannya dan menentukan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kesalahannya tersebut sehingga dapat diterima kembali di komunitasnya.
Sebelum mengenal konsep restitusi, saya pernah mengambil beberapa posisi kontrol. Jika dilihat kembali dari apa yang saya alami di sekolah, kadang-kadang apa yang saya lakukan, baik sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, maupun sebagai teman, kadang "berhasil" membuat siswa menjadi lebih baik, namun kadang juga tidak. Saya tidak pernah menerapkan segitiga restitusi karena tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Setelah mempraktikkannya, saya merasa lega saat menyadari bahwa posisi kontrol manajer yang menerapkan segitiga restitusi dapat membantu siswa untuk menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tindakannya karena menurut saya hal itulah yang penting. Apapun pilihan siswa terhadap perilakunya, merekalah yang akan menerima akibatnya baik sekarang maupun di masa depan, sehingga sudah tentu mereka perlu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan membentuk disiplin diri bukan karena motivasi eksternal. Perkara baik dan hal yang perlu diperbaiki dalam penerapannya menurut saya berkaitan dengan kebiasaan. Jika nanti sudah terbentuk kebiasaan, sudah barang tentu proses komunikasi dalam penyampaian pertanyaan - pertanyaan efektif dalam langkah segitiga restitusi dapat menjadi lebih baik dan komunikatif. Namun memang perlu diapresiasi, jika melihat respon siswa, dengan tanpa rasa takut terhadap hukuman, atau rasa haus akan penghargaan, perbaikan karakter menjadi harapan guru yang rasanya lebih mudah untuk digapai.
Selain itu, hal lain yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah pentingnya untuk menyesuaikan pola - pola restitusi dengan latar belakang siswa, baik dari usia, kematangan kemampuan komunikasi, maupun latar belakang lainnya. Karena pemahaman mengenai hal tersebut tentu akan membantu guru dalam proses diskusi agar tujuan restitusi dapat tercapai.

Ni Putu Herma Yanthi, S.Pd.,M.Pd.
SMK Negeri 1 Tabanan
Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Tabanan, Bali


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment